Powered By Blogger

Rabu, 21 Oktober 2009

EVALUASI PENJAS

Dalam pendidikan jasmani, evaluasi merupakan bagian integral dalam suatu proses pembelajarannya. Evaluasi yang dilakukan tersebut berbeda dari mata pelajaran lainnya, yang sebagian besar hanya mengukur ranah pengetahuan (kognitif) saja. Sedangkan evaluasi dalam penjas, disamping ranah kognitif dan ranah afektif, ranah psikomotor pun merupakan sasaran utamanya. Demikian halnya dalam bidang olah raga, apalagi pada berbagai cabang olah raga yang tingkat kompetensinya tinggi, pengukuran dan evaluasi keterampilan menjadi bagian yang begitu penting, karena dengan dilakukannya pengukuran tersebut akan diperoleh informasi yang selanjutnya dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan, seperti: untuk menyeleksi, menentukan status, klasifikasi, menentukan bahan atau program latihan, menentukan metode dan alat yang diperlukan untuk latihan, di samping untuk memotivasi serta menentukan alat evaluasi (test) yang tepat.

A. Pengertian Evaluasi
Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggeris yaitu “evaluation” yang berarti penilaian. Evaluasi, tentu bukan merupakan istilah yang asing bagi guru penjas dan bagi guru-guru lainnya. Mereka tentu mengetahui dan menyadari bahwa evaluai harus dilakukan, agar dapat mengetahui kemajuan belajar siswanya. Pelaksanaan evaluasi ini agar dapat berlangsung dengan lebih baik, manakala guru memahami makna dan fungsinya. Karena itu, dalam bagian ini, dikemukakan penjelasan yang berhubungan dengan evaluasi untuk mengetahui, memahami dan menilai proses kemajuan hasil belajar pendidikan jasmani.

Pengertian evaluasi menurut Gronlund & Linn (1990), adalah suatu proses yang sistematis dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan menafsirkan informasi untuk menentukan tingkat pencapaian siswa terhadap tujuan pembelajaran. Sementara itu, dalam buku Pedoman Perencanaan, Pengelolaan, dan Evaluasi Pengajaran (Depdikbud, 1993) dikemukakan bahwa pengertian evaluasi atau penilaian adalah suatu proses mendapatkan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh, tentang proses dan hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa melalui kegiatan belajar-mengajar yang ditetapkan sehingga dapat dijadikan dasar untuk menentukan perlakuan selanjutnya. Sedangkan Nana Sudjana (1999) mengartikan evaluasi sebagai suatu proses untuk memberikan atau menentukan nilai kepada obyek tertentu.

Evaluasi berbeda dengan pengukuran (measurement). Pengukuran akan memberikan jawaban terhadap pertanyaan “how much”, sedangkan evaluasi akan memberikan jawaban terhadap pertanyaan “what value”. Jadi, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa evaluasi penjas merupakan suatu proses yang sistematis dan berkesinambungan untuk menentukan atau pemberian nilai terhadap sejauhmana proses dan hasil kemajuan belajar yang dicapai seseorang peserta didik dalam rangka pengambilan keputusan pendidikan, khususnya dalam penjas.

B. Beberapa Istilah Dalam Evaluasi
Beberapa istilah pokok dalam evaluasi meliputi: asesmen, instrumen, tes dan pengukuran, asesmen otentik, portopolio, dan grading. Dalam bagian berikut ini akan dipaparkan pengertian beberapa istilah tersebut.

1. Asesmen
Menurut Dali S. Naga (2003) asesmen adalah proses untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan pada evaluasi. Dalam asesmen dapat menggunakan pengukuran dan non-pengukuran. Asesmen berfungsi untuk membantu siswa dalam belajarnya. Bukan hanya sekedar pengumpulan informasi untuk keperluan penilaian. Data yang dihimpun melalui asesmen, dapat secara langsung dipakai sebagai umpan balik bagi perbaikan atau peningkatan pembelajaran berikutnya. Pelaksanaan asesmen ini lebih bersifat alamiah (tidak dilaksanakan secara resmi).

Jenis informasi yang dikumpulkan melalui asesmen banyak ragamnya, bergantung pada kebutuhan. Antara lain berupa skor, deskripsi kegiatan, atau kualitas suatu subjek. Di antara aneka instrumen, asesmen sering digunakan guru berupa daftar cek dan borang. Dengan demikian guru dapat lebih mudah memantau kemajuan belajar siswanya, dan menetukan materi yang harus diberikan sesuai dengan tingkat kemajuan belajar siswa.

Jadi, asesmen adalah proses untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan dalam evaluasi. Istilah asesmen dan pengukuran keduanya mengandung pengertian yang hampir sama. Adang Suherman (2001) mengemukakan kesamaan cirri-ciri dari kedua istilah ini, yaitu :

• Keduanya merupakan proses pengumpulan informasi;
• Keduanya merupakan salah satu tahap dalam proses evaluasi;
• Keduanya sering kali diikuti oleh proses penilaian;

Karena kedua istilah ini banyak persamaannya, maka dalam kasus tertentu penggunaannya sama. Misalnya dalam kasus tes lari 100 meter. Data yang diperoleh melalui tes ini berupa skor, misalnya 9 menit. Jadi untuk menentukan nilai data ini tidak perlu dikuantifikasikan lagi. Yang terpenting apa makna skor 9 menit tersebut?. Apa bedanya dengan skor 7 menit?.

2. Instrumen
Instrumen adalah alat unutk memporoleh informasi. Instrumen ini banyak ragamnya, sesuai dengan jenis informasi yang akan dikumpulkannya. Suatu syarat yang penting harus diperhatikan adalah suatu instrumen itu harus sahih (valid) dan dapat dipercaya (reliable). Kesahihannya, bergantung pada keseuaian fungsinya untuk mendapatkan informasi yang diharapkan. Keterandalannya pun tergantung kepada sejauhmana informasi yang diungkap melalui suatu instrumen dapat dipercaya.

Bila data yang ingin dikumpulkan berupa ukuran panjang, maka instrumen yang dibutuhkan adalah meteran. Bila data ukuran berat, tentu instrumen yang dibutuhkan adalah timbangan. Beberapa contoh instrumen yang sering digunakan dalam aspek pembelajaran, antara lain adalah tes, pedoman observasi, daftar cek, wawancara, angket, dan bentuk lainnya untuk menghimpun data tentang sifat suatu objek atau sifat/perilaku manusia.

3. Tes dan Pengukuran
Cronbach (1970) mengartikan testing sebagai prosedur yang sistematis untuk mengamati perilaku seseorang dan mendeskripsikannya dengan bantuan sistem numerik atau sistem kategori. Fernandes (1984) mengartikan tes sebagai suatu prosedur yang sistematis untuk mengobservasi perilaku seseorang dan menggambarkannya dalam bentuk skala numerik atau sistem kategori.

Kirkendall, dkk (1980) mengartikan tes sebagai sebuah instrumen untuk memperoleh informasi tentang individu atau subyek-subyek tertentu. Menurut Scriven (1981) tes adalah apapun yang digunakan untuk melakukan pengukuran. Gronlund & Linn (1990) mengartikan tes sebagai sebuah instrumen atau prosedur yang sistematis untuk melakukan pengukuran terhadap perilaku seseorang. Senada dengan itu, Kerlinger (1995) mengartikan tes sebagai prosedur yang sistematis ketika individu yang diuji dihadapkan pada sehimpunan rangsang atau stimuli untuk ditanggapinya; dari tanggapan-tanggapan itu akan memungkinkan penguji memberikan angka atau sehimpunan angka bagi pihak yang diuji dan angka-angka tersebut dapat menjadi sumber inferensi tentang pemilikan pihak yang diuji terhadap sifat apapun yang diukur melalui tes tersebut. Definisi ini pada intinya menyatakan bahwa suatu tes adalah instrumen pengukur.

Tes adalah alat untuk mengukur dalam rangka memperoleh informasi berupa sampel sifat sesuatu objek atau manusia. Untuk memperoleh data prestasi belajar, guru misalnya memakai tes prestasi belajar.

Selanjutnya Scriven (1981) mengartikan pengukuran sebagai determinan atau perbedaan dari besaran atau pentingnya sebuah kuantitas. Menurut Gronlund (1985), pengukuran adalah suatu kegiatan atau proses untuk memperoleh deskripsi numerik dari tingkatan atau derajat karakterisitik khusus yang dimiliki oleh individu.

Menurut Hopkins & Stanley (1981), pengukuran adalah suatu proses yang menggunakan peralatan yang berbeda-beda. Sedangkan Moh. Nazir (1988) mengartikan pengukuran sebagai prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Sutrisno Hadi (1987) mengartikan pengukuran sebagai suatu kegiatan yang dutujukan untuk mengedentifikasikan besar-kecilnya obyek atau gejala. Dikatakan pula, bahwa untuk mengidentifikasikan besar kecilnya obyek atau gejala dapat dilakukan melalui alat-alat yang telah ditera atau tanpa menggunakan alat yang ditera.

Menurut Safrit & Wood (1989), pengukuran adalah proses pemberian angka-angka dari suatu obyek seseorang atau lainnya dengan mengikuti berbagai aturan. Senada dengan itu, Singarimbun & Effendi (1995) mengartikan bahwa pngukuran merupakan proses pemberian angka-angka pada variabel menurut aturan yang telah ditentukan. Kerlinger (1995) mengartikan pengukuran sebagai pemberian angka pada obyek-obyek atau kejadian-kejadian menurut suatu aturan tertentu. Daryanto (1999) mengartikan pengukuran sebagai suatu proses untuk memberikan angka (biasanya disebut skor) kepada suatu sifat atau karaktersitik seseorang sedemikian rupa sehingga mempertahankan hubungan senyatanya antara seseorang dengan orang lain sesuai dengan sifat yang diukur tersebut. Arti ini menyiratkan makna bahwa aspek terpenting dari pengukuran adalah angka-angka (skor) yang diberikan tersebut tetap mempertahankan hubungan antara variabel yang diukur. Misalnya, Amin lebih cekatan dari Farida dalam berlari, maka skor lari cepat yang dicapai Amin lebih cepat daripada skor lari cepat yang dicapai Farida.

Jadi, pengukuran adalah tindakan atau proses untuk menetukan keluasan atau kuantitas dari pada suatu objek tertentu. Dengan kata lain, pengukuran adalah suatu proses pemberian bilangan kepada suatu atribut dari suatu objek (berupa makhluk, benda, peristiwa) menurut aturan tertentu. Hasil pengukuran dapat dijadikan suatu data dan informasi dalam evaluasi, sehingga pengukuran menghasilkan informasi berupa skor. Berdasarkan skor inilah, guru biasanya dapat menafsirkan kemajuan belajar siswanya.

4. Asesmen Otentik
Schiemer (2000) mengklasifikasikan asesmen itu ke dalam asesmen otentik dan asesmen alternatif. Asesmen dikatakan otentik manakala siswa mendemonstrasikan perilaku yang diharapkan dalam situasi nyata misalnya bermain sepakbola dengan teman-temannya atau bermain lempar tangkap dengan keluarganya. Pada kasus ini guru dapat menghimpun informasi tentang (1) bagaimana penerapan pengetahuan dan keterampilan pada situasi nyata dalam melakukan aktivitas fisik atau olahraga dan (2) bagaimana penerapan konsep kerjasama dan teknik menendang pada situasi nyata bermain sepak bola, dsb.

Namun demikian menyediakan situasi nyata untuk keperluan asesmen sangatlah menantang atau tidak mudah. Para guru perlu mengembangkan asesmen otentik yang menyebabkan penampilan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari siswa secara alami terungkap dengan demikian, diharapkan perilaku yang terungkap tersebut, merupakan cerminan kehidupan nyata, baik di dalam lingkungan sekolah maupun luar sekolah. (Adang Suherman, 2001)

Sedangkan asesmen alternatif menjadi asesmen otentik manakala diterapkan dalam situasi nyata. Lebih lanjut Schiemer (2000) menjelaskan bahwa asesmen alternatif menuntut siswa menggunakan keterampilan berpikir yang lebih tinggi misalnya keterampilan memecahkan masalah dan membuat keputusan. Dalam kasus ini, siswa dituntut mendemonstrasikan perilaku, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan dalam situasi dan kondisi yang terkendali. Contoh asesmen yang diuraikan dalam buku ini lebih mencerminkan asesmen otentik, tetapi dapat dikembangkan menjadi asesmen alternatif. (Adang Suherman, 2001)

5. portopolio
Schiemer (2000) mengartikan istilah portopolio sebagai suatu koleksi karya siswa yang mencerminkan tingkat keberhasilan belajarnya di kelas, atau di sekolah, bahkan karya siswa yang diperlombakan pada berbagai tingkat. Koleksi karya siswa yang dimaksudkan di sini dapat bersifat:
• Subjek khusus (misalnya Penjas saja) atau koleksi karya siswa dari berbagai subjek (semua bidang studi)
• Periode tertentu (misal catur wulan atau satu tahun) atau secara keseluruhan karir siswa selama menempuh pendidikan pada sekolah tersebut.
• Karya siswa secara individu atau keseluruhan.

Apabila dilihat dari tipenya portopolio dapat diklasifikasikan ke dalam (1) portopolio karya dan (2) portopolio keseluruhan. portopolio karya siswa berisikan catatan hasil belajar siswa sehari-hari, misalnya kuis, borang, catatan belajar, catatan pengawasan keterampilan. portopolio karya siswa harus juga meliputi masukan yang mencerminkan kemampuan siswa tersebut. Untuk kepentingan ini asesmen awal dan akhir dapat juga digunakan.

portopolio kumulatif merupakan koleksi karya yang mencerminkan perkembangan belajar siswa dari setiap tahun dalam beberapa bidang studi termasuk pendidikan jasmani. portopolio kumulatif penjasharus menghimpun data atau informasi yang berhubungan dengan hasil belajar pendidikan jasmani. Misalnya kemampuan menampilkan ketrampilan gerak, pemahaman tentang konsep dan keterampilan gerak dan penggunaan keterampilan sosial dan tanggung jawabnya. Portepolio kumulatif ini dapat memberi kesempatan siswa untuk melakukan penilaian terhadap perkembangan belajarnya sendiri.
(Lihat Adang Suherman, 2001)

6. Penentuan nilai
Penentuan nilai atau sering disebut juga “grading” adalah proses pemberian nilai terhadap informasi yang diperoleh melalui asesmen dan pengukuran. Sebagai contoh si Badu memperoleh skor 45 dalam tes kesehatan. Apa artinya skor tersebut ?. Skor itu tentu tidak bisa berbicara apa-apa, manakala tidak diberi makna. Jika di kelas penjas misalnya sering menggunakan rentang nilai 1 – 10, atau 1-4 (A, B, C, D, dan E), berapa nilai si Badu yang memperoleh skor 45 tersebut ?

Penentuan nilai berarti juga penafsiran data atau informasi yang diperoleh melalui asesmen, baik pengukuran maupun non-pengukuran. Pada tahap ini terjadi proses membandingkan informasi yang diperoleh dengan suatu criteria pembanding. Misalnya dengan patokan tertentu yang telah ditetapkan, seperti tujuan pembelajaran khusus yang diturunkan dari tujuan pembelajaran umum. Atau mungkin juga untuk melihat posisi siswa dalam kelompoknya, misalnya digunakan acuan norma kelompok sebagai pembandingnya. Pada dasarnya proses inilah yang disebut proses penentuan nilai atau proses penilaian.

C. Prinsip Dasar Pelaksanaan Evaluasi Penjas

Evaluasi pada dasarnya merupakan upaya atau suatu proses yang sistematis untuk melakukan pertimbangan nilai tentang sesuatu objek tertentu (misalnya produk, kinerja, tujuan, proses, prosedur, program, pendekatan, dan fungsi). Dalam evaluasi penjas, yang menjadi objeknya adalah proses dan hasil pembelajaran penjas. Dalam konteks ini guru penjas melakukan evaluasi dengan maksud untuk melihat apakah usaha yang dilakukan melalui proses pembelajaran penjas telah mencapai tujuan yang diharapkan.

Apabila sekolah diumpamakan sebagai tempat mengolah sesuatu dan calon siswa sebagai bahan mentah, maka dengan sendirinya lulusan yang dihasilkan dapat disamakan dengan hasil olahan yang diharapkan siap pakai. Istilah yang terkait dengan uraian singkat tersebut adalah input, transformasi, dan output.




























Gambar 1.1 Kaitan antara Input, proses transformasi, dan output dalam PBM sebagai suatu system

Input merupakan bahan mentah yang dimasukan ke dalam transformasi. Dalam pendidikan, maka yang dimaksud bahan mentah adalah calon siswa yang akan memasuki sekolah. Sebelum memasuki suatu tingkat pendidikan atau pembelajaran (kelas), maka calon siswa dievaluasi terlebih dahulu kemampuannya. Melalui evaluasi tersebut, akan diketahui apakah kelak ia akan mampu mengikuti pembelajaran dan melaksanakan tugas-tugas yang terkait dengan pembelajaran yang diberikan kepadanya.

Transformasi, merupakan suatu mesin atau proses yang bertugas mengubah bahan mentah menjadi bahan jadi. Dalam pendidikan, maka yang dimaksud dengan transformasi adalah sekolah dengan segala sistem pendidikan atau pembelajaran yang diberlakukan. Bahan jadi yang diharapkan melalui pendidikan adalah lulusan yang dihasilkan dan sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang terkait dengan proses pembelajaran, baik terikat secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor tersebut, antara lain meliputi: guru, bahan pelajaran, metode dan alat pembelajaran, sistem administrasi serta evaluasi.

Output, merupakan bahan jadi yang dihasilkan melalui suatu proses transformasi. Dalam bidang pendidikan, maka output yang dihasilkan adalah lulusan yang dihasilkan oleh setiap jenjang penyelenggara pendidikan (pendidikan usia dini, pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi).

Umpan balik (feed back), merupakan suatu informasi, baik yang menyangkut output maupun proses transformasi, yang sangat diperlukan bagi perbaikan kedua aspek tersebut. Lulusan (output) yang kurang berkualitas, akan menggugah semua pihak yang terkait untuk mengambil tindakan konstruktif yang berhubungan dengan penyebab timbulnya keadaan tersebut. Penyebab-penyebab tersebut antara lain adalah input yang kurang baik kualitasnya, guru yang kompetensi atau kualifikasinya rendah, bahan pelajaran yang kurang cocok, metode dan alat pembelajaran yang tidak tepat, sistem administrasi serta alat evaluasi yang kurang memenuhi persyaratan.

Oleh karena itu, untuk mengurangi berbagai isu dalam melaksanakan evaluasi, baik terhadap proses maupun hasil pembelajaran penjas di sekolah, dan agar evaluasi dapat memenuhi fungsinya untuk meningkatkan mutu proses belajar mengajar, maka pelaksanaan evaluasi seyoyanya mempertimbangkan beberapa prinsip sebagai berikut:

• Evaluasi harus menyeluruh dan terpadu meliputi banyak segi, seperti calon siswa, proses pembelajaran (transformasi) dan lulusan yang dihasilkan.

Evaluasi harus mencakup seluruh aspek pendidikan sebagai sebuah system baik menyangkut raw input, instrumental input, environmental input, proses tranformasi, maupun output secara terpadu. Karena suatu proses dan hasil pembelajaran akan banyak dipengaruhi oleh berbagai factor, komponen dan dimensi yang mengitarinya. Seperti dalam aspek rawinput, karakteristik calon siswa pun turut mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran penjas. Bagaimana kurikulum, materi, metode pembelajaran, dan fasilitas, sarana dan parasarana yang digunakan juga turut mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran. Demikian pula halnya dengan aspek environmental input, seperti lingkungan keluarga yang mendukung atau tidak, lingkungan social budaya setempat, agama, dan bahkan politik pun turut mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran penjas.

• Proses pengumpulan Data Dilakukan Melalui Kerjasama Secara Alami

Untuk meningkatkan aktivitas belajar dan memotivasi siswa, hindarkanlah penggunaan standar yang baku atau perbandingan dengan teman. Sebagai penggantinya, lakukanlah kerjasama antara guru dengan siswa secara individu untuk mendiskusikan tujuan belajar yang ingin dicapai. Bimbinglah dan doronglah siswa untuk menentukan tujuan-tujuan yang maksimal, akan tetapi realistic, sesuai dengan tingkat kemampuannya. Para siswa akan lebih menjadi termotivasi untuk melakukan tes serta tekun belajar dengan baik manakala mereka bekerja sama dengan gurunya.

• Proses Pengumpulan Data dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Bukti kemajuan belajar siswa ada diantaranya yang secara langsung dilihat hasilnya dalam tempo waktu relatif singkat. Ada juga belajar siswa yang hanya dilihat hasilnya setelah menempuh program yang panjang, misalnya satu tahun atau lebih. Karena itu, kemajuan belajar siswa harus dicatat dan didokumentasikan agar dapat diperhatikan peningkatannya kepada siswa, orang tua siswa atau kepada pihak pimpinannya sekolah yang membutuhkan. Proses pengumpulan data yang dilakukan hanya satu kali kurang cocok untuk melihat keunggulan dan kelemahan masing-masing.

..... UNTUK SHARING CALL:081524350105.....

PENDEKATAN PEMBELAJARAN PENJAS

Pendekatan Pembelajaran Penjas
Materi utama dari kurikulum Penjas lebih banyak terdiri dari berbagai macam permainan, baik yang bersifat beregu maupun perorangan. Untuk permainan beregu yang kompleks, yang banyak menggunakan keterampilan terbuka, seperti volley, basket, sepak bola, atau bola tangan, permainannya sendiri memerlukan pertimbangan khusus.
Persiapan permainan beregu tentunya tidak cukup hanya mempersiapkan individu menguasai keterampilan-keterampilan yang ada dalam permainan itu, tetapi mencakup persiapan bagaimana anak mengkombinasikan keterampilan itu, menggunakannya dalam cara yang lebih kompleks, dan menghubungkannya dengan anak lain baik dalam kaitannya dengan konsep pertahanan atau penyerangan. Bagian ini akan menyajikan cara untuk melihat pada pengembangan pemain dari sudut pandang yang lebih makro, yang mempertimbangkan pengembangan keterampilan dan strateginya. Dalam pembelajaran Permainan, dewasa ini dikenal dua pendekatan, yaitu yang disebut Pendekatan Teknis dan Pendekatan Taktis. Pendekatan mana yang akan dipilih, semuanya diserahkan kepada guru masing-masing, disesuaikan dengan pemahaman untuk mencapai hasil yang dipandang optimal.

1. Pendekatan Teknis
Pendekatan teknis dalam pembelajaran permainan di dasarkan pada pemahaman bahwa siswa akan dapat melakukan permainan jika mereka sudah menguasai teknik dasarnya. Oleh karena itu, dalam pendekatan ini, guru akan memulai pembelajaran permainan dengan memberikan pelajaran teknik dasar.
Pandangan terhadap permainan ini mengedepankan kerangka pengembangan dan disebut tahapan permainan. Pentingnya aspek tahapan permainan ini telah timbul dari studi bagaimana keterampilan digunakan dalam permainan. Setiap tahapan pengajaran harus melibatkan pergerakan (perpindahan) dari latihan yang secara bertahap meningkat tingkat kesulitannya ke kondisi seperti permainan.
Perkembangan pemain dari permainan dapat dianggap terdiri dari empat tahap. Tahapan-tahapan tersebut dideskripsikan dalam bagian-bagian berikut:

a. Tahap satu
Dalam tahap satu guru berkepentingan dengan kemampuan siswa untuk mengontrol benda (obyek) atau tubuh. Siswa pemula dihadapkan dengan masalah ketidaktahuan tentang apa yang akan terjadi ketika mereka memukul, melempar, menangkap atau mengumpulkan benda tertentu. Tingkat kemampuan mengontrol benda yang sangat mendasar akan dikuasai pada tahapan pembelajaran permainan ini. Pengontrolan yang dimaksud adalah kemampuan-kemampuan sebagai berikut:
• Aksi melontarkan (misalnya memukul, menendang, melempar). Anak dapat mengarahkan benda ke suatu tempat dengan besaran daya yang sesuai kepentingannya secara konsisten.
• Aksi menerima (misalnya menangkap, mengumpulkan). Anak dapat menguasai suatu benda yang datang padanya dari arah, kecepatan, dan ketinggian yang berbeda.
• Aksi membawa dan melepaskan (misalnya mendribbling, menggiring, dsb.). Anak dapat menjaga penguasaan terhadap benda yang bergerak dalam berbagai cara dan pada berbagai kecepatan.
Perkembangan keterampilan dalam tahap satu melibatkan pemberian pengalaman dalam menangkap dan melempar. Pengalaman demikian pertama-tama diberikan dalam kondisi yang paling mudah, dan bertahap pengontrolannya dilakukan dalam situasi yang lebih sulit dengan memanipulasi ketinggian, arah, tenaga dari benda yang dilemparkan atau ditangkap. Perkembangan dalam tahap satu juga memasukkan perubahan dari posisi benda diam ke benda yang bergerak dan dari posisi penerima diam ke posisi bergerak. Bandingkan tahapan pembelajaran antara anak SD dan siswa SMP yang tengah belajar pass atas pada bola voli.

Menangkap bola Pass atas
Menangkap dari lontaran ringan sendiri Pass atas dari lontaran ringan
Tingkatkan ketinggian lontaran Tingkatkan ketinggian lontaran
Tingkatkan jarak lontaran Tingkatkan jarak lontaran
Lontarkan ke arah kiri dan kanan Terima lontaran dari kiri dan kanan
Menangkap bola dari lontaran orang lain Berpindah-pindah dari melontarkan ke pass atas
Tingkatkan jarak dan daya lontaran Tingkatkan jarak dan daya lontaran
Variasikan ketinggian lemparan Variasikan ketinggian lemparan
Tingkatkan jarak dan daya lontaran Lakukan pass bola dari bola service dari Tangkap sambil bergerak arah yang berbeda.

Dalam contoh di atas, tahapan yang meningkat dilakukan sehingga mengarahkan anak pada tingkat penguasaan dan pengontrolan yang meningkat terhadap bola dengan mengubah-ubah kondisinya. Semua tugas-tugas ajar yang bersifat manipulatif dapat dikurangi atau ditingkatkan kompleksitasnya dengan memanipulasi daya (kecepatan), arah, atau ketinggian benda, juga perubahan dari posisi diam ke posisi bergerak. Melempar dan menangkap dari keadaan bergerak lebih sulit dilakukan daripada dari posisi diam.

b. Tahap dua.
Pada tahap dua ini fokus pembelajaran masih pada peningkatan penguasaan dan pengontrolan terhadap objek, tetapi latihannya sudah lebih kompleks. Dalam tahap dua ini, dua keterampilan digabungkan (misalnya dribbling dan passing); peraturan ditekankan sehingga membatasi aksi yang dilakukan (misalnya aturan traveling dalam basket); dan keterampilan tersebut dilatih secara kooperatif dengan anak lain.
Melatih keterampilan dengan penggabungan merupakan hal yang kritis dan sering diabaikan dalam pembelajaran permainan. Anak yang sudah dapat melakukan dribble, pass, dan shoot sebagai keterampilan tunggal belum tentu dapat dengan mudah melakukan dribble langsung shoot, atau dribble langsung pass. Ini disebabkan persiapan untuk melakukan keterampilan kedua dilakukan selama berlangsungnya keterampilan pertama (transisi). Banyak anak yang pemula akan melakukan dribble, stop, baru kemudian shoot.
Oleh karena itu, fokus kegiatan dari pembelajaran tahap dua adalah pada gerak transisi di antara keterampilan. Misalnya, bagaimana dalam dribbling sepak bola anak harus menenmpatkan bola pada posisi yang memungkinkan ia segera menembak setelah dribbling– tidak berhenti dulu, kemudian ia mundur mengambil ancang-ancang, dan menembak. Meskipun banyak anak akan sampai pada kemampuan ini dengan baik melalui latihan, tetapi akan banyak pula anak yang tidak akan mampu melakukannya tanpa bantuan guru. Berikut adalah contoh penggabungan keterampilan yang harus dipelajari khusus dalam sepak bola ketika anak-anak memasuki tahapan dua.
• Menerima bola dari passing anak lain kemudian langsung dribble,
• Dribble kemudian passing,
• Dribble kemudian menembak ke gawang,
• Menerima bola passing, dribble, kemudian menembak ke gawang.

Bahkan dalam situasi permainan yang melibatkan keterampilan tunggal yang singkat (diskrit), melatih keterampilan secara gabungan ini tetap perlu dilakukan. Dalam permainan voli misalnya, seorang anak dapat membuat passing bawah ke anak lain, yang berikutnya melakukan toss ke anak lain lagi, atau melakukan set up, sehingga anak yang pertama tadi kemudian dapat melakukan spike.
Untuk menentukan keterampilan apa yang harus dilatih dalam gabungan, guru harus menganalisis permainan yang dipelajari untuk menentukan keterampilan-keterampilan yang akan digabungkan. Akhirnya, keterampilan-keterampilan tadi harus dilatih dengan cara yang sama ketika keterampilan itu digunakan dalam permainan, bahkan hingga ke saat service dilakukan dan perpindahan posisi (contoh dalam bola voli).
Tahap dua juga melibatkan siswa dalam kegiatan latihan bekerja sama dengan siswa lain, seperti mencoba menjaga agar bola terus dapat berada di udara tanpa jatuh dalam permainan voli atau menjaga agar shuttle cock selalu bisa menyebrangi net dalam badminton. Pada tahap ini, tujuan dari permainan adalah menguasai dan mengontrol bola atau cock, dan bukan berkompetisi dengan pasangan untuk saling mengalahkan.

c. Tahap tiga.
Dalam tahap tiga, fokus pembelajaran adalah pelaksanaan taktik penyerangan dan pertahanan secara sederhana dengan menggunakan keterampilan yang sudah dikuasai. Ketika tahap ini dilaksanakan, siswa diasumsikan sudah mampu menguasai dan mengontrol bola tanpa kesulitan lagi, sehingga dapat berkonsentrasi pada penggunaan keterampilan itu dalam proses penyerangan atau bertahan.
Tahap tiga mempertimbangkan strategi yang sangat mendasar yang ada dalam permainan tertentu dan mulai membangun strategi tersebut secara bertahap dalam wawasan siswa. Hal ini dilakukan, pertama-tama dalam kondisi yang sangat sederhana dan kemudian bergeser ke kondisi yang lebih kompleks.
Secara mendasar olahraga permainan dapat dibedakan menjadi dua jenis permainan dengan strateginya masing-masing. Yang pertama adalah permainan invasi (invasion games), yang berciri semua pemain menggunakan lapangan yang sama dalam penyerangan dan pertahanan serta terus-menerus bertukar peranan tergantung siapa yang menguasai bola. Permainan bola basket, sepak bola, hockey, bola tangan, merupakan contoh dari permainan jenis invasi tersebut.
Dalam permainan jenis ini tujuan permainannya adalah menjaga penguasaan terhadap bola dan segera membuat skor ketika menyerang. Sedangkan regu yang tidak menguasai bola bertindak secara defensif untuk menggagalkan pembuatan skor oleh regu lawan dan segera mencoba merebut penguasaan terhadap bola agar bisa balas menyerang dan membuat skor. Kegiatan tahap tiga dalam permainan jenis ini berkepentingan dengan menetapkan cara untuk mendapatkan dan memelihara penguasaan teerhadap bola agar mampu membuat skor. Contoh berikut tentang permulaan strategi dari jenis permainan invasi menggambarkan keterampilan dan kemampuan yang harus diajarkan pada tahap ini.

Strategi permainan invasi
Bagaimana memelihara penguasaan bola dalam permainan satu lawan satu.
Bagaimana mendapatkan penguasaan bola dalam permainan satu lawan satu.
Bagaimana memelihara penguasaan bola dalam permainan dua lawan satu.
Bagaimana mendapatkan penguasaan bola dalam permainan dua lawan satu.
Bagaimana memelihara penguasaan bola dalam permainan dua lawan dua.
Bagaimana mendapatkan penguasaan bola dalam permainan dua lawan dua.
Bagaimana memelihara penguasaan bola dalam permainan tiga lawan dua.
Bagaimana mendapatkan penguasaan bola dalam permainan tiga lawan dua.
Bagaimana memelihara penguasaan bola dalam permainan tiga lawan tiga.
Bagaimana mendapatkan penguasaan bola dalam permainan dua lawan dua.

Setiap gagasan yang digambarkan di atas mempunyai serangkaian tanda-tanda penting berkaitan dengan strategi yang menjadi bagian permainan. Setiap pemain penyerang (pemain yang menguasai bola dan yang tidak menguasai bola) mempunyai peranan yang berbeda. Demikian juga dengan setiap pemain bertahan (pemain yang menguasai bola dan yang tidak menguasai bola) juga memiliki peranan yang berbeda. Jika peranan tersebut diajarkan sebelum permainan menjadi semakin kompleks, siswa memiliki dasar untuk memainkan permainan dalam bentuk yang lebih kompleks.
Jenis permainan kedua populer disebut permainan net. Contohnya adalah bola voli, badminton, tenis; di mana pemain yang berhadapan dipisahkan dalam lapangan yang berbeda oleh adanya net. Tujuan permainan net adalah membuat skor dengan berusaha membuat lawan atau regu lawan kehilangan bola. Strategi penyerangan dan pertahanan meliputi pembelajaran tentang bagaimana mempertahankan daerah sendiri dan belajar bagaimana agar lawan kehilangan bola. Strategi dari permainan net meliputi:

• Strategi penyerangan:
 Menempatkan bola di lapangan lawan di daerah yang tidak terjaga dengan baik.
 Gunakan pukulan menyerang yang sulit dikembalikan (misalnya smash atau spike).
 Gunakan pukulan yang berubah arah (drop short), sehingga lawan salah mengantisipasi.
 Arahkan bola pada titik yang menjadi kelemahan lawan.

• Strategi pertahanan:
 Pertahankan seluruh daerah lapangan sendiri dengan baik.
 Antisipasi ke mana bola akan diarahkan.
 Blok pukulan-pukulan penyerangan.

Dalam tahap ini anak harus mampu menggunakan stategi menyerang dan bertahan di bawah situasi permainan yang tidak terlalu kompleks terlebih dahulu, sehingga menjadi dasar strategi permainan berikutnya. Seperti halnya permainan invasi, perkembangan keterampilan dalam permainan net berlangsung dari yang sederhana ke yang kompleks.
Kompleksitas dikembangkan dengan menambah jumlah pemain, luas lapangan, pembuatan skor, dan peraturan untuk berlangsungnya kegiatan latihan. Ketika elemen lain dari kesulitan ditambahkan, siswa harus dibantu menyesuaikan respons mereka pada apa yang ditambahkan. Harus pula diingat, penambahan kompleksitas permainan dilakukan secara bertahap.
Trend yang sedang tumbuh dalam mengajar permainan dewasa ini, terutama di Amerika Serikat dan Inggris, adalah bahwa siswa harus mulai belajar bagaimana memainkan pemainan dimulai pada tahap tiga, bukan dari tahap satu atau tahap dua. Asumsinya adalah bahwa strategi dianggap sebagai bagian yang paling bermakna dari permainan dan bahwa siswa akan mengembangkan keterampilan yang diperlukan setelah benar-benar dibutuhkan. Pengajaran permainan yang demikian populer disebut sebagai pendekatan taktis (tactical approach), yang saat ini sedang berusaha dikembangkan di negara kita.
Dengan pendekatan ini, siswa akan belajar tentang bagaimana mengarahkan bola ke daerah-daerah kosong tanpa mengetahui nama teknik yang digunakan. Guru dapat ikut campur dalam membantu siswa menghaluskan keterampilan siswa ketika mereka merasa sudah siap. Siswa yang belajar sepak bola, misalnya, akan belajar permainan dalam kondisi yang paling sederhana tetapi berkaitan dengan strategi tanpa harus menekankan pada bagaimana mendribble bola atau bagaimana mengoper atau menembak.
Pendekatan strategi permainan pada pengajaran permainan memiliki kesamaan dengan pendekatan strategi kognitif. Ini adalah cara lain dalam memandang pada bagaimana mendekati materi atau isi pembelajaran. Dalam kurangnya fakta penelitian yang menunjang terhadap pendekatan strategi-untuk-keterampilan dan pendekatan keterampilan-untuk-strategi ini, guru hendaknya tetap bersikap terbuka dan berusaha mencoba kedua pendekatan ini pada pengajarannya.

d. Tahap empat.
Tidak ada batas yang jelas di mana pengalaman pada tahap tiga berakhir dan pengalaman tahap empat dimulai. Pengalaman tahap empat bersifat sangat kompleks. Tahap ini meliputi tidak saja permainan penuh, tetapi juga termasuk kegiatan-kegiatan yang dimodifikasi untuk membantu siswa mencapai targetnya.
Untuk kebanyakan jenis permainan, tahap empat dimulai ketika pemain penyeran dan bertahan ditetapkan secara khusus sesuai peranannya. Para pemain jumlahnya ditambah, keterampilan yang dipelajari digunakan, dan aturan permainan sudah semakin kompleks.
Ketika siswa mencapai tahap empat, hal itu dianggap bahwa siswa telah menguasai dengan baik keterampilan individual dan melampaui strategi permainan dasar yang digunakan dalam kondisi permainan yang disederhanakan. Misalnya, diasumsikan bahwa siswa dapat bertahan melawan pemain penyerang secara individual atau dengan pemain lain dalam permainan invasi, atau mereka sudah dapat menempatkan bola jauh dari pemain lawan dan dapat mempertahankan daerahnya sendiri dalam permainan net.
Aspek kunci untuk melaksanakan kegiatan tahap empat dengan cara yang bermakna adalah konsep bahwa permainan harus berlangsung berkelanjutan. Maksudnya, jika suatu peraturan atau bagian dari permainan yang ditampilkan dalam cara tertentu memperlambat aliran permainan atau sering menghentikan kelangsungan permainan, permainan itu harus dimodifikasi untuk menjaga keberlanjutannya. Jika siswa tidak dapat menggunakan semua pemain dalam suatu regu, jumlah pemain harus dikurangi. Contoh dari modifikasi permainan meliputi menghilangkan tembakan hukuman, mengganti tindakan service pada permainan voli, pukulan pada softball diganti dengan lemparan atau menempatkan bola pada batting tee untuk sebagian pemain, memulai permainan tanpa ada bola keluar, dan mengurangi ukuran lapangan permainan, dsb.

Contoh modifikasi permainan yang baik
Basket Empat lawan empat tanpa menggunakan dribbling
Lima lawan lima tanpa memakai peraturan tembakan hukuman atau jump ball
Sepak bola Tujuh lawan tujuh, peraturan penuh
Sebelas lawan sebelas; tidak ada bola keluar dan tendangan sudut.
Voli Peraturan sebenarnya; minimal bola dimainkan dua kali
Empat lawan empat; lebar lapangan dimodifikasi
Tennis Lapangan lebih kecil; peraturan penuh
Permainan dimulai dengan serve yang dipermudah.

Guru yang memilih menggunakan permainan tahap empat tidak boleh berhenti mengawasi jalannya pembelajaran. Tujuannya adalah mengajar siswa bagaimana memainkan permainan dengan baik, tidak hanya membiarkan mereka bermain ketika mereka mencapai tingkat ini. Tugas di tahap empat adalah menerapkan permainan yang dapat diperluas dengan cara membuat permainan lebih sulit atau lebih mudah. Guru juga harus menghaluskan penampilan siswa melalui penggunaan tugas penyempurnaan dan berkonsentrasi pada permainan mereka.

2. Pendekatan Taktis
Jika Anda berusaha mengajarkan keterampilan teknik suatu cabang olahraga dan sekaligus mengajarkan bagaimana penerapannya dalam situasi permainan, maka pendekatan taktis merupakan satu pendekatan yang tepat untuk digunakan. Tujuan utama pendekatan taktis dalam pengajaran cabang olahraga permainan adalah untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep bermain.
Melalui pendekatan taktis, siswa didorong untuk memecahkan masalah taktik dalam permainan. Masalah taktik pada hakikatnya adalah penerapan keterampilan teknik dalam situasi permainan. Dengan menggunakan pendekatan taktik, siswa semakin memahami kaitan antara teknik dan taktik dalam suatu permainan.
Penggunaan pendekatan taktis diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran cabang olahraga permainan di SMP. Dalam bagian ini dipaparkan konsep dan beberapa model pembelajaran untuk mengajarkan keterampilan taktik bermain cabang olahraga Sepakbola, Bolabasket, dan Bolavoli.
Dari pengamatan terhadap pelaksanaan proses pembelajaran cabang olahraga permainan di beberapa sekolah, banyak ditemukan masalah ketidakseimbangan pembelajaran antara pembelajaran yang menekankan pada penguasaan keterampilan teknik dan pembelajaran yang menekankan pada usaha untuk meningkatkan penampilan bermain. Masalah tersebut telah membawa pembelajaran kepada salah satu dari dua bentuk pembelajaran yang terpisah. Bentuk pertama menekankan pada drill keterampilan teknik, dan bentuk kedua menekankan pada keterampilan bermain. Gambar 1. menunjukan tiga pendekatan pembelajaran permainan.








Gambar 1. Tiga pendekatan pembelajaran permainan.

Selanjutnya kita sering melihat proses pembelajaran yang mengkombinasikan proses pembelajaran keterampilan teknik dengan proses pembelajaran bermain secara terpisah. Tahap pertama anak dilatih untuk menguasai keterampilan teknik, dan tahap kedua anak disuruh bermain. Jarang ditemukan pembelajaran keterampilan teknik dan pembelajaran keterampilan bermain dalam suatu proses pembelajaran yang utuh.
Bagi siswa, tujuan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan taktis adalah :
1. Meningkatkan kemampuan bermain melalui pemahaman terhadap keterkaitan antara taktik permainan dan perkembangan keterampilan
2. Memberikan kesenangan dalam proses pembelajaran
3. Belajar memecahkan masalah-masalah dan membuat keputusan selama bermain.

a. Memahami Pendekatan Taktis
Bagi siswa, olahraga dan bermain yang dirancang dalam suatu proses pembelajaran yang kondusif diyakini dapat menghasilkan rasa senang, edukatif, menarik atau menantang, dan dapat pula membina kesehatan dan rasa percaya diri. Mengajarkan cabang olahraga permainan harus tetap merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kurikulum pendidikan jasmani.
Beberapa guru mengajar keterampilan teknik dan taktik bermain, tetapi biasanya dilakukan secara terpisah, sehingga keterkaitan pembelajaran keterampilan teknik dengan permainan tidak jelas. Misalnya dalam pembelajaran permainan bola basket, setengah dari waktu jam pelajaran digunakan untuk latihan passing, dribling, dan keterampilan shooting secara terpisah; setengah waktu berikutnya baru digunakan untuk bermain; padahal perkembangan keterampilan teknik tidak jelas terlihat selama bermain.









b. Dasar-Dasar Untuk Pendekatan Taktis

(1) Minat dan kegembiraan
Pendekatan tradisional biasanya menekankan pada penguasaan keterampilan teknik dasar. Contoh pendekatan ini, misalnya dalam pembelajaran bulu tangkis, pemain sering ditugaskan belajar mengembangkan teknik servis, pukulan di atas kepala, drop short, dan smesh dengan mengkonsentrasikan pada unsur-unsur yang lebih spesifik dan terpisah dari keterampilan bermain.
Meskipun bentuk pembelajaran ini dapat meningkatkan keterampilan teknik, hal ini telah banyak dikritik, yaitu keterampilan diajarkan sebelum siswa dapat mengerti keterkaitannya dengan situasi bermain yang sesungguhnya. Hasilnya dapat menghilangkan esensi dari permainan. Padahal proses pembelajaran permainan merupakan sebuah rangkaian dari bermacam latihan keterampilan teknik dan taktik yang terpadu.
Pendekatan taktis memberikan alternatif, satu jalan keluar yang memungkinkan siswa dapat mempelajari teknik dalam situasi bermain. Penelitian dan pengalaman lain menunjukan bahwa melalui pendekatan taktis guru dan siswa termotivasi untuk belajar keterampilan bermain secara lebih baik. Keistimewaan lain dari pendekatan taktis adalah urutan pembelajaran yang alamiah, yang meminimalkan proses pembelajaran yang kurang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan siswa.

(2) Pengetahuan Sebagai Pemberdayaan
Keputusan yang tepat seperti Apa yang harus dilakukan di dalam situasi bermain adalah sesuatu yang penting. Kesalahan yang sering terjadi dalam olahraga, biasanya terjadi pada siswa pemula, yaitu mereka kurang memahami situasi dan kondisi permainan yang sesungguhnya.
Keunikan dari bermain terletak pada proses membuat keputusan untuk melakukan teknik yang tepat. Jika siswa kurang memahami kondisi bermain, kemampuan mereka untuk mengidentifikasi teknik yang benar dalam satu situasi tertentu akan terganggu. Untuk meningkatkan pemahaman bermain hanya dapat diperoleh melalui pembelajaran pada kesadaran taktik.

(3) Transfer Pemahaman dan Penampilan Melalui Bermain
Transfer dalam pembelajaran penjas yang dimaksudkan adalah kesanggupan seseorang untuk menggunakan kecakapan, keterampilan, pengetahuan, dan lainnya yang diperoleh melalui pengalaman dan latihan ke dalam situasi yang baru. Dalam hal ini, salah satu keuntungan pendekatan taktis adalah dapat membantu siswa menstranfer suatu pemahaman bermain dari satu permainan ke permainan lainnya yang sejenis.
Masalah-masalah taktik yang terdapat dalam permainan saling menyerang seperti sepak bola, hockey lapangan, dan bola basket adalah sama. Pengalaman menunjukan bahwa pemain sepak bola yang baik adalah mereka yang memiliki pengalaman pada hockey lapangan, hockey es, bola basket, atau olahraga-olahraga lain yang bersifat invasion games. Mereka memahami aspek-aspek ruang yang dapat diterapkan pada olahraga lain yang sejenis.
Untuk mengembangkan sistem klasifikasi dalam pembelajaran permainan, guru dapat memilih beberapa bentuk permainan yang memiliki taktik bermain yang sama. Salah satu alternatif untuk menggunakan sistem pengklasifikasian ini adalah pemilihan bentuk kategori permainan. Hal ini dapat membantu siswa dan guru untuk lebih memahami dan menghayati hakikat permainan berdasarkan kesamaan-kesamaan taktik dalam kategori tersebut.
Diagram 1. menggambarkan sistem klasifikasi permainan berdasarkan kesamaan taktik bermain.

Diagram 1
Sistem Klasifikasi Dalam Olahraga Permainan

Invasion Net / wall Fielding / run-scoring Target

Bola basket
Netball
Bola tangan
Polo air
Sepak bola
Hockey
Speedball
Rugby Net
Badminton
Tennes
Tenis meja
Bola voli

Wall
Racquetball
Squash
Baseball
Softball
Rounders
Cricket
Kickball
Golf
Bowling
Billiards
Snooker

Sebagai kesimpulan pembahasan pendekatan taktis dalam proses pembelajaran keterampilan bermain adalah sebagai berikut,
(a) Melalui latihan yang mirip dengan permainan yang sesungguhnya, minat dan kegembiraan seluruh siswa akan meningkat. Secara khusus bagi siswa yang memiliki kemampuan teknik rendah, pendekatan taktis adalah tepat, karena tidak menekankan pada keterampilan teknik, namun kepada pengembangan taktik, atau pemecahan masalah.
(b) Peningkatan pengetahuan taktik, penting bagi siswa untuk menjaga konsistensi keberhasilan pelaksanaan keterampilan teknik yang sudah dimiliki. Untuk siswa, hal ini merupakan langkah pertama yang positif untuk meningkatkan keterampilan bermain.
(c) Dengan menggunakan pendekatan taktis dapat memperdalam pemahaman bermain dan meningkatkan kemampuan menstranfer pemahaman secara lebih efektif dari satu permainan ke permainan lainnya. Kemampuan menstranfer ini meningkatkan peluang pemain untuk meningkatkan permainannya, yaitu dengan bertambahnya keluwesan dalam beradaptasi dengan aktivitas dan situasi baru manakala diperlukan.

3. Pendekatan Pola Gerak Dominan
Pengajaran senam di sekolah (dalam pelajaran penjas) berbeda sifatnya dengan pelatihan senam yang ada di klub-klub senam. Dalam pendidikan jasmani, anak hadir di hall senam bukan karena mereka ingin ada disana, melainkan mereka harus ada disana. Tidak mengherankan jika sebagian dari mereka terlihat antusias, sementara tidak sedikit pula yang terlihat terpaksa, ragu-ragu, atau malah terlihat malas.
Tidak ada dua anak yang sama dalam segala hal. Mereka biasanya berbeda dalam hal fisik, begitu pula dalam hal kepribadian dan perbedaan individu lainnya. Apa yang disenangi seorang atau sebagian anak bisa jadi sesuatu yang membosankan atau menakutkan bagi anak lain. Kemungkinan tersebut bisa berlaku dalam pembelajaran senam, dimana proses pembelajarannya bersifat sangat khusus dan berbeda dari pelajaran keterampilan gerak lainnya seperti permainan.
Dalam senam anak biasanya melihat alat yang asing bagi mereka. Belum lagi gerakan-gerakan yang harus dikuasai di dalamnya bersifat sangat khas, seolah sangat ditentukan oleh kemampuan dan ciri fisik anak yang melakukannya. Anak yang gemuk, misalnya, akan merasa bahwa dirinya tidak akan mudah melakukan gerakan yang diminta oleh guru, sehingga belum apa-apa (mencoba) dia akan serta-merta mengatakan tidak mau, atau tidak bisa. Demikian juga dengan anak yang mungkin merasa dirinya tidak punya kekuatan, iapun akan menolak untuk melakukan handstand atau bertumpu di palang, dsb.
Bagaimanakah guru bisa sukses ditengah-tengah perbedaan yang sangat khas tersebut? Tidak ada jawaban yang jitu. Tetapi diyakini, bahwa pendekatan (tradisional) yang tunggal (yang selama ini sering ditempuh guru) tidak akan berhasil memecahkan perbedaan di atas, bahkan bisa lebih memperburuk keadaan.
Persoalan lain timbul dari pihak guru. Sebagai guru, Anda akan menemukan bahwa pembelajaran senam harus banyak memerlukan bantuan pada setiap tahapannya. Ini wajar, sebab pembelajaran senam banyak berhubungan dengan upaya memanipulasi gerakan yang melibatkan tubuh sebagai alatnya. Hal tersebut berbeda dengan cabang olahraga lain, yang hanya memanipulasi alat seperti bola, pemukul, atau alat lain yang tidak melibatkan tubuh secara langsung.
Pengajaran senam, termasuk di dalamnya senam lantai, sangat menuntut kerja fisik dan mental. Beban ini biasanya meningkat manakala mengajarkan dan memperkenalkan keterampilan baru, terutama gerakan yang kompleks. Pada tahap ini, guru seolah diwajibkan memberikan bantuan terus menerus, yang bantuan tersebut lebih sering berupa upaya mendukung atau mengangkat tubuh siswa pada setiap tahap gerakannya. Dapat dibayangkan, betapa besar energi yang dikeluarkan guru, jika jumlah murid di dalam kelas mencapai 40 orang siswa, dan setiap siswa melakukan minimal dua hingga tiga kali ulangan. Jika guru tidak mengerti teknik bantuan dan bagaimana memanfaatkan murid atau siswa lain untuk saling membantu, maka tugas mengajar senam akan sangat memberatkan.
Di samping usaha dari pihak guru atau pelatih di atas, anak pun harus banyak berusaha mengulang-ulang gerakan dimaksud agar dapat menguasainya. Umumnya, semakin sulit gerakan itu, semakin banyak usaha yang diperlukan untuk menguasainya. Persoalan ini ternyata tidak mudah dipecahkan karena bahkan setelah anak berusaha dengan baik sekalipun, dirinya tidak serta-merta mampu menguasai keterampilan tersebut. Belum lagi jika faktor ketakutan siswa mulai diperhitungkan.
Salah satu isu yang paling santer dalam pembelajaran senam adalah bagaimana murid dapat termotivasi ketika mengikuti pelajaran. Kenyataan menunjukkan, bahwa dalam banyak situasi pembelajaran senam, banyak sekali murid yang nampaknya tidak tertarik untuk betul-betul menguasai keterampilan senam, malahan hampir semua murid putri sepertinya takut mengikuti pelajaran senam.
Sebenarnya persoalan takutnya anak dalam mengikuti pelajaran senam bukan masalah baru. Dan itu terjadi bukan hanya di sekolah-sekolah Indonesia yang peralatannya sangat tidak memadai. Bahkan di negara majupun keadaan di atas tampak sangat mencolok. Di mana sebenarnya letak kesalahannya? menurut para ahli, kesalahannya justru pada pendekatan pengajaran senam yang ditempuh para guru.
Jika para guru memilih pendekatan pengajaran formal terhadap senam prestasi, maka akan banyak anak yang merasa dirinya tidak mampu dan karena itu tidak termotivasi sama sekali. Untuk itu agar siswa termotivasi guru perlu mengubah pendekatan pengajaran senamnya dengan pendekatan yang berorientasi permainan, atau pendekatan Pola Gerak Dominan (PGD) seperti akan diuraikan di bagian lain.
Karena itu disarankan agar guru bisa menempuh pendekatan baru, dengan menerapkan serta memanfaatkan bermacam-macam keterampilan mengajar, metode dan gaya mengajar yang dapat berinteraksi secara efektif dengan lingkungan belajar yang khusus (Mosston & Asworth, 1994).

a. Hakikat Pola Gerak Dominan

Untuk mengusung niat pengajaran senam yang menyenangkan, tentu perlu diwujudkan melalui pemilihan pendekatan pengajaran yang tepat. Sejauh ini ada berbagai pendekatan yang dikenal dalam pengajaran dan pelatihan senam, di antaranya misalnya pendekatan melalui pengelompokan keterampilan formal, pendekatan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak, serta pendekatan pola gerak dominan (PGD). Pendekatan terakhirlah yang akan dipilih dalam naskah ini, tentunya dengan beberapa tambahan di sana-sini.
Yang dimaksud dengan pola gerak dominan adalah pola gerak yang mendasari terbentuknya suatu keterampilan sehingga perannya dianggap dominan. Istilah ini diturunkan dari terminologi formal Teori Motorik yang membagi gerak menjadi 3 tingkatan, yaitu gerak (movement), pola gerak (movement pattern) dan keterampilan (skill). Gerak diartikan sebagai perpindahan tubuh atau anggota tubuh secara nyata dari satu titik ke titik lain. Sedangkan pola gerak adalah sekelompok atau suatu seri aksi gerak yang memiliki fungsi luas yang ditampilkan dengan tuntutan ketepatan yang rendah (Singer, 1980). Kemudian keterampilan adalah kemampuan atau suatu aksi gerak yang mengantarkan pada suatu hasil dengan kepastian yang tinggi dan dengan pengeluaran energi dan waktu yang minimal (Guthrie dalam Schmidt and Wrisberg, 2000).
Dilihat dari pengertian di atas, maka posisi pola gerak tingkatnya berada lebih rendah dari keterampilan. Jika keterampilan dicirikan oleh hasil yang harus tinggi tingkat ketepatannya, sedangkan pola gerak tingkat ketepatan hasilnya rendah.
Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa pendekatan pola gerak dominan adalah pendekatan pengajaran yang lebih ditekankan pada pengembangan PGD-nya daripada terhadap keterampilannya itu sendiri (Shembri, 1983). Artinya tuntutan dari hasil pembelajaran dengan pendekatan ini tidak harus sampai pada penguasaan keterampilan suatu cabang olahraga, tetapi cukup jika ditujukan pada pengembangan pola gerak-pola geraknya. Khusus dalam pembelajarn senam, pengertian pendekatan PGD mengarah pada upaya guru untuk mengembangkan pola gerak-pola gerak yang sifatnya dominant di dalam senam. Ini juga berarti bahwa dalam cabang olahraga lainpun, pendekatan ini dapat juga diterapkan, sepanjang guru mampu mengidentifikasi pola gerak-pola gerak yang sifatnya dominant dalam cabang tersebut.
PGD inilah yang menjadi dinding bangunan (building block) untuk terbentuknya keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. Misalnya putaran dalam roll depan adalah PGD yang sama dengan putaran untuk berhasilnya salto depan. Oleh karenanya, guru tinggal memilih sejumlah kecil kunci keterampilan yang mendasari keterampilan senam, melatih/mengajarkannya kepada anak, kemudian baru berangkat pada penguasaan keterampilan yang berikutnya.
Terdapat beberapa keuntungan jika guru menempuh pendekatan PGD. Di antaranya adalah :
• Guru dapat berkonsentrasi pada pola gerak kunci, sehingga mengurangi jumlah kegiatan atau keterampilan yang harus dikuasai murid. Variasi dan tingkat kesulitan kelak ditambahkan setelah “building block” dari setiap PGD dikuasai.
• Pengajaran PGD dapat lebih disesuaikan dengan taraf pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga anak merasa tugas geraknya tidak terlalu sulit, tetapi tetap menantang dan menyenangkan .
• Pendekatan PGD menekankan terjalinnya benang merah antar berbagai keterampilan. Jalinan ini mempermudah guru untuk menentukan poin-poin penting pengajaran (teaching points) yang bisa dipergunakan untuk banyak keterampilan.
• Untuk setiap PGD yang dilakukan selalu terdapat persyaratan kemampuan fisik yang perlu dimiliki. Pendekatan PGD, dengan menekankan urutan dari yang sederhana ke yang lebih sulit, memungkinkan guru untuk memperhatikan persyaratan kemampuan fisik untuk setiap kegiatan.
• Kerangka pendekatan PGD memungkinkan guru merencanakan program yang seimbang. Guru dapat memilih kegiatan-kegiatan yang tepat dari setiap PGD, atau membaginya menurut kebutuhan, misalnya 3 PGD dalam satu pelajaran, dan sisanya pada pelajaran berikutnya.

Singkatnya, Pendekatan Pola Gerak Dominan adalah pendekatan pengajaran senam yang lebih menekankan pada pemberian masalah-masalah gerak dari pola gerak dominan dalam senam, untuk dipecahkan melalui penemuan dan pengulangan yang mengarah pada berkembangnya pola gerak tersebut, yang didasari oleh pemahaman anak terhadap prinsip-prinsip mekanikanya.

b. Macam-Macam Pola Gerak Dominan Senam
Senam dapat dibedakan dari olahraga lainnya oleh seperangkat pola gerak dominannya yang unik. Kesemua pola gerak dominan itu adalah :

a. Landings (pendaratan)
b. Static position (posisi-posisi statis)
c. Locomotion (Gerak berpindah)
d. Swings (Ayunan)
e. Rotations (Putaran)
f. Springs (Tolakan)
g. Flight and height (Layangan dan ketinggian)


Untuk keperluan pengenalan pendekatan PGD, di bawah ini hanya akan diuraikan serba sedikit pola tersebut, sekedar mengetahui deskripsinya, mekanikanya, serta macam- macam PGD-nya. Kita mulai dari yang pertama.

1) Landing ( Pendaratan )
Istilah pendaratan diartikan secara meluas sebagai penghentian yang terkontrol dari tubuh yang melayang turun. Pendaratan bisa dilakukan pada kedua kaki, tangan, atau disebarkan pada bagian tubuh yang lebih besar, seperti pada punggung.

a) Deskripsi
Dari kesemua gerak yang ada, pendaratan merupakan pola yang paling penting, sebab, pertama, kemampuan dalam hal landing menjamin keselamatan, dan kedua, landing merupakan kegiatan yang paling umum dalam senam serta menjadi penentu keberhasilan dari hampir setiap elemen senam. Semua gerakan senam beserta setiap pola gerakannya ( mengayun, melayang, rotasi, dan posisi statis) berakhir pada pada sikap mendarat. Teknik pendaratan yang salah adalah sumber cedera, dan dalam senam kompetitif menjadi salah satu aspek yang dinilai juri.

b) Mekanika
Terdapat dua prinsip mekanik yang menentukan semua bentuk pendaratan yang harus difahami oleh setiap pelatih/ guru dan para peserta, yaitu
(1) Momentum dari setiap pendaratan harus diserap dalam periode waktu selama mungkin
Ilustrasi di bawah menggambarkan dua pendaratan yang sangat berbeda. Gambar satu menunjukkan pendaratan yang tidak aman, ketika pesenam mendarat dari ketinggian dengan mempertahankan tubuh yang kaku dan mendarat pada permukaan yang keras. Terjadinya pendaratan sangat cepat, sehingga menimbulkan benturan yang keras pada beberapa persendian, terutama pada tulang belakang. Gambar kedua menunjukkan teknik yang memadai, yang menyebabkan waktu pendaratan dapat disebarkan ke permukaan yang lembut, dan peristiwa pendaratan dilakukan dengan bagian kaki yang berbeda dalam urutan yang bertahap: pertama, ujung kaki, lalu seluruh kaki, kemudian membengkokkan lutut, dan terakhir membengkokkan sendi panggul, sebelum berdiri tegak.

(2) Momentum setiap pendaratan harus diserap dengan menggunakan sebesar mungkin bagian tubuh ( permukaannya )yang terlibat.
Pesenam dapat memperluas dasar tumpuan dengan membuka kaki selebar bahu, atau dalam pendaratan penyelamatan, pesenam harus meredam daya tubuh di atas daerah selebar mungkin dengan gerakan mengguling (roll). Gulingan badan bukan hanya memperluas bagian tubuh yang mendarat, tetapi juga memperlama saat pendaratan.

c) Jenis – jenis pendaratan
Sedikitnya terdapat empat macam pendaratan yang berbeda, yaitu :
(1). Pendaratan dengan kaki.
(2). Pendaratan dengan tangan.
(3). Pendaratan dengan putaran.
(4). Pendaratan dengan punggung rata.

2) Posisi Statis (Static position)
Statis berarti diam atau seimbang. Pesenam yang sedang dalam posisi diam adalah pesenam yang sedang dalam posisi seimbang. Pada saat demikian, titik pusat berat tubuhnya sedang tidak bergerak

a) Deskripsi
Yang dimaksud posisi statis adalah posisi tubuh yang dibuat oleh semua posisi “bertahan“ atau “diam” yang sangat umum dalam senam. Posisi ini biasanya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu bertumpu (support), menggantung (hang), dan keseimbangan (Balance).

b) Mekanika
Untuk sebagian besar, pertimbangan-pertimbangan mekanika dalam posisi ini berhubungan dengan stabilitas equilibrium (titik berat tubuh dalam hubungannya dengan dasar tumpuan). Dalam hal ini, secara mendasar, pola ini menggambarkan hubungan antara titik berat tubuh (center of gravity) dengan dasar tumpuan (base of suport). Sebagaimana diketahui, titik berat tubuh tidak berada di titik yang tetap, tetapi bergerak sesuai dengan perubahan konfigurasi tubuh. Misalnya, dalam gambar dibawah terlihat bahwa titik berat tubuh bergeser ketika posisi tubuh berubah (perhatikan anak panah yang menunjuk letak dari titik berat tubuh ).

Dalam kaitannya dengan keseimbangan, terdapat empat prinsip yang harus diketahui bagaimana hubungan antara titik berat tubuh dan tumpuan itu.
(1) Jarak titik berat tubuh dari dasar tumpuan.
Maksudnya, semakin dekat antara titik berat tubuh ke dasar tumpuan, stabilitas semakin besar.
(2) Titik berat tubuh berhubungan dengan dasar tumpuan.
Maksudnya, jika titik berat tubuh berada dalam wilayah dasar tumpuan, maka keseimbangan semakin besar. Jika titik berat tubuh berada di luar dari wilayah dasar tumpuan, maka keseimbangan akan semakin kecil.
(3) Ukuran dasar tumpuan
Maksudnya, semakin besar dasar tumpuan, keseimbangan semakin besar.
(4) Segmen dari titik berat tubuh berhubungan dengan dasar tumpuan.
Maksudnya, jika tubuh dianggap segmen-segmen, maka stabilitas akan semakin besar jika titik berat dari setiap segmen tubuh itu tersusun secara vertikal di atas titik berat dari segmen yang ada di bawahnya.

c) Jenis – jenis posisi Statis
(1) Tumpuan (support)
Tumpuan adalah posisi statis yang stabil yang dilakukan dengan menggunakan tenaga tangan dan lengan agar tubuh serta bahu berada pada suatu alat. Pada posisi ini dapat dibedakan antara tumpuan depan, tumpuan belakang, tumpuan lengan atas, tumpuan lengan bawah, tumpuan samping, tumpuan memanjang, dan lain– lain.

(2) Gantungan (hang)
Gantungan adalah posisi statis di mana bahu berada di bawah suatu alat. Banyak pola gerak lain (seperti ayunan dan locomotion) yang berawal dari posisi menggantung sehingga kemampuan ini perlu dikembangkan terlebih dahulu. Latihan menggantung tidak dapat diabaikan, karena dapat mengembangkan kekuatan dan daya tahan pegangan (grip) dalam berbagai posisi yang mungkin dilakukan, sehingga mengembangkan juga kemampuan orientasi ruangnya. Hal ini berlaku juga dalam hal tumpuan, sehingga kekuatan dan daya tahan tumpuan harus dikuasai terlebih dahulu sebelum digabungkan dengan gerakan-gerakan lokomotor dan ayunan.
Untuk itu perlu diajarkan berbagai variasi pegangan menggantung seperti pegangan atas (over grip), pegangan bawah (under grip) pegangan campuran (mixed grip), pegangan silang (cross grip), dan pegangan L (elgrip/eagle). Di samping itu, gantungan dalam posisi tubuh yang berbeda-beda pun harus dikembangkan secara bertahap, seperti gantungan panjang (long hang).

(3) Keseimbangan (Balance).
Keseimbangan adalah aspek yang sangat penting dalam senam dan sampai pada tahapan tertentu sudah disimpulkan bahwa kemampuan ini dapat dilatih atau dikembangkan. Adapun macam-macam sikap keseimbangan dalam posisi statis ini bisa dibedakan antara keseimbangan dengan satu kaki, keseimbangan dengan pinggul, keseimbangan dengan lutut, keseimbangan dengan dua tangan, keseimbangan dengan satu tangan, serta keseimbangan dengan kepala.

3) Locomotion (Gerak berpindah tempat).
a) Deskripsi
Locomotion didefinisikan sebagai berulang-ulang memindahkan tubuh atau gerak tubuh atau anggota tubuh yang menyebabkan tubuh berpindah tempat.
Kegiatan-kegiatan yang bersifat lokomotor di dalam senam bisa dibilang sering dilakukan dan bersifat unik (memanjat alat, dan lain-lain).

b) Mekanika.
Sebagaimana disepakati, kita definisikan bersama bahwa lokomotor adalah “ berulang-ulang memindahkan tubuh”. Agar hal itu bisa terjadi, orang yang bersangkutan harus mengerahkan daya internal (kontraksi otot) yang menggeser titik berat tubuh sehingga menyebabkan kehilangan keseimbangan, dan segera mengembalikannya.

c) Jenis-jenis lokomotor.
Dalam kaitan ini, lokomotor dapat dibagi dalam empat bagian besar, yaitu :
(1). lokomotor pada kedua kaki, misalnya berlari, hop, melompat, skip, berderap dan gerakan- gerakan tarian, dll. Untuk membuat variasi pada gerak di atas, bisa dilakukan dengan merubah arahnya, merubah jalurnya, merubah tingkat ketinggiannya, serta merubah iramanya, termasuk tempat gerakan dilakukan, apakah di lantai atau di atas alat tertentu.
(2). lokomotor dalam posisi bertumpu, misalnya gerakan-gerakan lokomotor menirukan gerakan-gerakan binatang seperti ulat ukur, anjing, gajah, buaya, kepiting, dll, serta gerak lokomotor bertumpu di atas alat senam seperti palang sejajar dan kuda pelana.
(3). lokomotor dalam posisi menggantung, misalnya naik tambang, menggantung di palang sejajar sambil bergerak, dsb.
(4). Lokomotor dengan menggunakan DMP yang lain, misalnya roll depan atau roll belakang sebagai contoh putaran, loncat-loncat dengan tangan maupun dengan kaki sebagai contoh DMP tolakan (spring).

4) Ayunan (Swing)
a) Deskripsi.
Ayunan adalah suatu gerak melingkar yang berporos di luar tubuh atau benda yang bergerak. Ayunan merupakan bagian yang integral dengan senam dan dapat diperkenalkan pada tingkat keterampilan manapun. Kegiatan-kegiatan pendahuluan yang berkaitan dengan gantungan dan tumpuan, termasuk berbagai macam pegangan (grip) dan posisi tubuh selama menggantung atau bertumpu merupakan dasar utama dari pembentukan keterampilan mengayun.
b) Mekanika
Terdapat tiga pertimbangan mekanika yang penting untuk dimengerti dalam gerakan ayunan:
(1) Terdapat suatu perbedaan kecepatan di dalam fase menaik (ascending) dan fase menurun (descending) dalam ayunan. Fase descending adalah fase disaat momentum ayunan dapat ditingkatkan sementara fase ascending adalah fase ketika momentum akan diturunkan. Hal ini tidak mengherankan jika kita mengetahui bahwa gaya tarik bumi mendukung kita pada fase descending atau ayunan ke bawah tetapi sebaliknya akan melawan pada fase ascending atau ayunan ke atas.
Untuk mengoptimalkan ayunan dan meningkatkan amplitudo ayunan kita harus mencoba meningkatkan efek positif dari gaya tarik bumi pada ayunan descending dan menurunkan efek negatif gaya tarik bumi pada ayunan ascending. Hal ini bisa dilakukan dengan memindahkan titik berat tubuh menjauhi poros ayunan (memanjangkan tubuh) pada ayunan descending dan memindahkannya mendekati poros ketika ayunan ascending (memendekkan badan dengan membengkokkan panggul dan kaki).

(2) Untuk memaksimalkan besarnya ayunan, posisi awal ayunan harus dilakukan setinggi mungkin. Hal ini akan menyebabkan pengaruh percepatan titik berat tubuh untuk menyalurkan jumlah gerak yang lebih besar dan memaksimalkan besar dari fase naik berikutnya.
(3) Prinsip penting lainnya untuk memaksimalkan besaran ayunan adalah meningkatkan (memperbesar) jarak antara titik berat tubuh dengan poros putaran (palang). Jarak antara titik berat tubuh dengan pusat putaran disebut radius putaran.

c) Jenis-jenis Ayunan.
Ayunan bisa dibedakan menjadi dua macam ayunan besar, yaitu :
(1). Ayunan dari gantungan, yang terdiri dari ayunan panjang (long swing), ayunan meluncur (glide swing), ayunan dengan posisi tubuh terbalik, serta ayunan melecut (beat swing).
(2). Ayunan dari tumpuan, yang bisa dibedakan lagi menjadi ayunan pada palang tunggal, misalnya ayunan tumpu depan, dan ayunan pada palang sejajar, misalnya cross support swing.

5) Putaran (Rotation)
Putaran mempunyai peranan penting dalam pengembangan koordinasi, menyediakan sedemikian banyak jenis variasi dalam program senam.
a) Deskripsi.
Berbeda dengan “ayunan” yang umumnya berporos eksternal seperti palang, gelang-gelang, dll, “putaran” berhubungan dengan gerak berputar yang berporos internal (tubuh), baik secara longitudinal, transversal, maupun medial (anterior-posterior). Banyak sekali istilah yang dipakai dalam kosa kata senam yang digunakan untuk menggambarkan atau menamai putaran di sekitar poros internal, misalnya skrup, twist, turn, sommersault, salto, pivot, pirouettes, spin, roll, circle, dll.

b) Mekanika.
Untuk memulai putaran, suatu daya harus dikerahkan sedemikian rupa sehingga ia tidak melewati titik berat tubuh. Lebih jauh daya tersebut melintas dari titik berat tubuh, maka semakin besarlah pengaruh putarannya. Jika daya tadi dikerahkan melalui titik berat tubuh, maka efek putarannya akan kecil atau tidak ada sama sekali, tetapi malahan memindahkan titik berat tubuh dalam arah dimana tadi dikerahkan.
Untuk mengubah rotasi yang sudah dimulai, kita tinggal membuat variasi pada distribusi massa tubuh di sekitar poros putaran tadi, yaitu dengan cara memindahkan massa tubuh mendekati atau menjauhi porosnya. Lebih dekat massa tubuh ke poros putaran akan menghasilkan kecepatan rotasi yang meningkat; sedangkan lebih jauh massa ke poros akan menghasilkan penurunan kecepatan.

c) Jenis- jenis Putaran
Seperti telah disinggung di bagian awal, putaran dapat dibedakan berdasarkan porosnya. Oleh karena itu, jenis-jenis putaran dapat dibedakan menjadi :
(1). Putaran yang Berporos Tranversal (dari samping ke samping). Putaran-putaran pada poros ini meliputi gerakan-gerakan seperti roll depan, roll belakang, salto depan, salto belakang, dll
(2). Putaran yang Berporos Longitudinal (memanjang dari kepala ke kaki). Putaran yang terjadi akan memungkinkan tubuh berputar secara memanjang seperti twist, pirouette, turn, dll. Yang membedakan berikutnya adalah jumlah dari putarannya, apakah satu putaran, setengah putaran, atau dua putaran penuh, dll.
(3). Putaran yang Berporos Medial (Anterior/Posterior=depan/ belakang), ke dalam putaran ini sedikit sekali gerakan dapat dibuat, seperti gerakan baling-baling dan round off.

6) Tolakan (Spring)
Tolakan dapat dilihat sebagai situasi ketika seseorang melontarkan dirinya ke udara. Oleh karena itu, jenis tolakan dalam senam dapat dibedakan dari caranya orang itu memilih bagian tubuhnya sebagai alat pelontar, yaitu kaki, tangan, dan kombinasi keduanya.

a) Deskripsi
Pola gerak dominan yang satu ini meliputi kegiatan-kegiatan yang menghasilkan perpindahan tubuh secara cepat seperti menolak (take-off) dari dua kaki untuk kuda lompat, tolakan dua tangan dalam banyak kegiatan tumbling dan kuda lompat, atau take off dengan satu atau dua kaki dalam leap (arah lompatan ke depan dan berganti kaki) dan lompat secara berturut-turut (jangkit).
Tolakan menuntut kekuatan yang digabung dengan kecepatan, atau yang sering disebut power. Tidak seperti kemampuan fisik yang lain, power berkembang sangat lambat, begitu juga teknik lompat yang efisien. Karenanya, kegiatan senam yang memakai pendekatan PGD akan merupakan kegiatan yang baik dalam mengembangkan power.

b) Mekanika
Untuk bisa memindahkan titik berat tubuh secara cepat suatu daya harus dikerahkan pada tubuh. Daya tersebut dapat merupakan hasil dari usaha internal seperti kontraksi otot atau bisa juga berasal dari dorongan luar (external) seperti dari papan tolak, palang, atau kekenyalan lantai. Semua daya itu harus :
(1). cukup besaran atau luasnya,
(2). dalam arah yang diinginkan,dan
(3). disalurkan ke tubuh yang keras dan kaku.
Meskipun ketiga kondisi di atas nampaknya mudah dipahami, secara praktek semua kondisi itu harus dilatih dengan benar agar semakin disadari dengan benar.
Khususnya prinsip ketiga, mengerahkan daya kepada tubuh yang kaku, harus benar-benar dapat dilakukan dengan baik, karena kalau tidak, daya itu akan diserap ke dalam tubuh daripada bertindak untuk memindahkan tubuh. Lihat contoh di bawah ini.
Untuk tolakan yang dimulai dari lari awalan, berlaku mekanika seperti:
• Lari dengan kecepatan yang terkontrol,
• Langkah transisi antara lari dan tolakan, di sebut hurdle, harus rendah dan cepat.
• Mengikuti kontak pertama yang singkat, pergelangan kaki, lutut dan persendian panggul memberikan sedikit lekukan untuk menghasilkan tenaga dorongan besar ketika bagian yang bengkok itu diluruskan dengan cepat dan bertenaga.
Untuk menciptakan tenaga ke atas dari tolakan yang diawali lari awalan, diperlukan derajat sudut tahanan (blocking angle) yang mencukupi. Ini berarti bahwa pesenam harus mencondongkan tubuh sedikit ke belakang dari garis vertikal sesaat sebelum menolak.

7) Layangan dan Ketinggian
a) Deskripsi
Layangan adalah peristiwa ketika tubuh sedang berada di udara, terbebas dari kontak dengan alat atau permukaan tanah.
Sedangkan ketinggian adalah besarnya jarak antara titik berat tubuh ke permukaan tanah.

a) Mekanika
Jalur layangan dari pesenam dibentuk dari tolakan, dan bergantung pada:
(1). Sudut tolakan atau lepasnya pegangan,
(2). Kecepatan tolakan,
(3). Ketinggian dari titik berat tubuh atau tolakan atau lepasnya pegangan.
Jalur layangan tidak dapat diubah. Setiap gerakan yang dilakukan setelah tolakan, seperti membengkokkan badan atau kaki, tidak berpengaruh apa-apa terhadap jalur layangan.

......INSPIRASI YANG MASIH PERLU DIKAJI....... CALL:081524350105

MODEL PEMBELAJARAN PENJAS

Model Pembelajaran Penjas
Model pembelajaran (models of teaching) dalam konteks pendidikan jasmani lebih banyak berkembang berdasarkan orientasi dan model kurikulumnya. Dalam hal ini, model pembelajaran lebih sering dilihat sebagai “pilihan” guru untuk melihat manfaat dari pendidikan jasmani terhadap siswa, atau lebih sering disebut sebagai orientasi. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa sebagian ahli menunjuk model pembelajaran dalam penjas sebagai jawaban atas pertanyaan guru tentang ”esensi apa yang diharapkan dari siswa melalui pendidikan jasmani?“.
Mengikuti alur pikir tentang model di atas, model pembelajaran pendidikan jasmani dapat dibedakan antara model pendidikan gerak, model pendidikan olahraga, model pendidikan kebugaran, model kinesiological studies, model pengembangan disiplin, bahkan model petualangan (Jewet: 1994). Di bawah ini diuraikan beberapa model pembelajaran, sebatas untuk dipahami perbedaan antara satu dengan lainnya.

1. Model Pendidikan Gerak (Movement Education)
Pendidikan gerak atau movement education, menekankan kurikulumnya pada penguasaan konsep gerak. Di Amerika Serikat, program pendidikan gerak mulai berkembang sejak tahun 1960-an, yang pelaksanaannya didasarkan pada karya Rudolph Laban. Kerangka kerja program Laban ini meliputi konsep kesadaran tubuh (apa yang dilakukan tubuh), konsep usaha (bagaimana tubuh bergerak), konsep ruang (di mana tubuh bergerak), dan konsep keterhubungan (hubungan apa yang terjadi). Masing-masing konsep tersebut, merupakan panduan untuk dimanfaatkan manakala anak harus bergerak, sehingga gerakan anak bermakna dalam keseluruhan konsep tersebut.
Dari setiap aspek gerak di atas, tujuan dan kegiatan belajar dirancang dengan memanfaatkan pendekatan gaya mengajar pemecahan masalah, penemuan terbimbing, dan eksploratori (Logsdon et al., 1984). Menurutnya, dalam model pendidikan gerak ini, siswa akan didorong untuk mampu menganalisis tahapan gerakan ketika menggiring bola basket (misalnya) dan menemukan posisi yang tepat ketika berada dalam permainan. Steinhardt (1992), mengutip Nichols, telah mengusulkan suatu kurikulum terpadu (integrated curriculum) yang mengajarkan pada siswa hubungan antara gerak yang dipelajari dengan berbagai kegiatan pendidikan jasmani.
Dalam pengembangan kurikulum pendidikan gerak, keseluruhan konsep itu dimanfaatkan dan dielaborasi, serta menjadi wahana bagi anak untuk mengeksplorasi kemampuan geraknya. Termasuk, jika ke dalam kurikulum tersebut dimasukkan beberapa orientasi kecabangan olahraga seperti senam atau permainan, bahkan dansa sekalipun. Di bawah ini akan diuraikan ruang lingkup kurikulum pendidikan gerak yang diorientasikan melalui permainan kependidikan dan senam kependidikan.
Jewet dan Bain (1985) menyatakan bahwa model pendidikan gerak telah dikritik dalam hal tidak ditemukannya klaim tentang transfer belajar” dan juga mengakibatkan menurunnya waktu aktif bergerak yang disebabkan oleh penekanan berlebihan pada pengajaran konsep gerak. Kritik lain telah mengajukan lemahnya bukti empiris untuk mendukung praktek penggunaan gaya pengajaran penemuan untuk mengajarkan keterampilan berolahraga (Dauer and Pangrazi, 1992; Siedentop, 1980).



2. Model Pendidikan Kebugaran (Fitness Education)

Salah satu literatur yang banyak membahas tentang pendidikan Jasmani orientasi model kebugaran adalah Physical Education for Lifelong Fitness (AAHPERD). Buku ini mendeskripsikan model pembelajaran pendidikan jasmani dari perspektif health-related fitness education (steinhard, 1992). Model ini memiliki pandangan bahwa para siswa dapat membangun tubuh yang sehat dan memiliki gaya hidup aktif dengan cara melakukan aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-harinya. Namun kenyataan tersebut tidak mungkin dicapai tanpa adanya usaha karena sebagian besar anak dan remaja tidak memiliki kebiasaan hidup aktif secara teratur dan aktivitas fisiknya menurun secara drastis setelah dewasa. Untuk itu, program penjas di sekolah harus membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya.
Kesempatan membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya menurut model ini masih tetap terbuka sepanjang merujuk pada alasan individu melakukan aktivitas fisik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik adalah (1) aktivitas fisik meyenangkan, (2) dapat dilakukan rame-rame, (3) dapat meningkatkan keterampilan, (4) dapat memelihara bentuk tubuh, dan (5) nampak lebih baik. Beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik tersebut harus menjadi dasar dalam menerapkan model kebugaran ini.

1) Dasar penerapan model meliputi:
a) menekankan pada partisipasi yang menyenangkan pada kegiatan-kegiatan yang mudah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
b) menyediakan kegiatan-kegiatan kompetitif dan non-kompetitif dengan rentang yang bervariasi sesuai dengan tuntutan perbedaan kemampuan siswa
c) memberikan keterampilan (skill) dan keyakinan (confidence) yang diperlukan siswa agar dapat berpartisipasi aktif secara fisik.
d) melakukan promosi aktivitas fisik/olahraga pada seluruh komponen program sekolah dan mengembangkan hubungan antara program sekolah dan program masyarakat.
Dengan menggunakan dasar penerapan di atas, model ini diharapkan dapat mengembangkan skill, kebugaran jasmani, pengetahuan, sikap, dan perilaku yang dapat menggiring siswa memiliki gaya hidup aktif dan sehat (active-healthy lifestyles). Model pembelajaran ini berkeyakinan bahwa keberhasilan pendidikan jasmani berawal dari tertanamnya kesenangan siswa terhadap berbagai aktivitas fisik. Oleh karena itu, berbagai pembekalan seperti skill, kebugaran jasmani, sikap, pengetahuan, dan perilaku sehari-hari harus selalu berorientasi pada kesenangan dan keyakinan individu dalam rangka pembentukan gaya hidup aktif yang sehat di masa yang akan datang.

2) Karakteristik
Model kebugaran ini pada dasarnya merupakan model yang berorientasi pada materi ajar (subject oriented model), yang berlandaskan pada orientasi nilai penguasaan materi (disciplinary mastery value orientation). Namun, pada perkembangan sekarang ini, model ini seringkali merefleksikan orientasi nilai aktualisasi diri (self-actualization) atau perpaduan lingkungan (ecological integration). Beberapa program dari model ini, karenanya, mengintegrasikan pendidikan jasmani dengan konsep gaya hidup sehat (healthy lifestyle) yang lebih luas dengan komponen-komponen sosio-kultural (Jewett, dkk., 1995).
Peranan guru dalam penerapan model ini lebih ditekankan pada upaya untuk membimbing siswa pada program kegiatan kesegaran jasmani, mengajar keterampilan dalam pengelolaan dan pembuatan keputusan, menanamkan komitmen terhadap gaya hidup yang aktif, dan mengadministrasi program asesmen kesegaran jasmani individu siswa. Mengingat kritik yang mengatakan bahwa ruang lingkup dari program ini sangat terbatas pada aktivitas kebugaran saja, maka program ini berisikan pengembangan berbagai variasi keterampilan dan pengalaman yang memungkinkan siswa dapat berpartisipasi dalam aneka ragam olahraga dan aktivitas fisik.

3) Isu pelaksanaan model kebugaran jasmani
Realisasi pendidikan jasmani model kebugaran jasmani seringkali tidak memperhatikan konsep-konsep yang terkait dengan kebugaran jasmani dan keterkaitan aktivitas fisik untuk meningkatkan status kebugaran jasmani siswa. Anggapan kuat ciri khas model ini antara lain berisikan kegiatan tes kesegaran jasmani, membandingkan status siswa dengan standar orang lain, membujuk siswa dengan istilah “no pain, no gain”, dan aktivitas fisik di luar DAP yang seakan-akan menyiksa siswa dan merendahkan siswa. Program ini dibuat seakan-akan untuk mempersiapkan siswa menjadi anggota militer yang akan berperang. Programnya terfokus pada aktivitas “melatih” dan bukan “mendidik.” Padahal aspek mendidik ini jauh lebih penting untuk memelihara gaya hidup dan kesehatan pribadi anak dalam menghadapi era baru dan teknologi tinggi di masa depan.
Apa yang diajarkan oleh para guru pendidikan jasmani di sekolah-sekolah sekarang ini sangat mungkin menjadi faktor utama pembentuk kebiasaan (habit) dan sikap yang dapat dibawa sampai hari tua. Oleh karena itu harus diyakini bahwa apa yang diprogramkan oleh guru penjas bagi murid-muridnya harus menjamin terbentuknya kebiasaan positif dalam membentuk hidup aktif.
Masalah-masalah yang terkait dengan program kebugaran jasmani dalam lingkup pendidikan jasmani memang bersifat sangat kompleks dan tidak bisa dipecahkan secara sederhana. Apalagi jika memperhitungkan faktor pengaruh luar yang lebih kuat, seperti siaran TV yang lebih banyak membentuk kebiasaan hidup yang negatif. Karenanya, di pundak para guru Penjas terletak kewajiban untuk menyemaikan konsep dan kebiasaan hidup yang bisa menjamin generasi penerus tidak terancam masalah serius di kemudian hari.

3. Model Pendidikan Olahraga (Sport Education)
Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewett dan Bain 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini berorientasi pada nilai rujukan Disciplinary Mastery (penguasaan materi), dan merujuk pada model kurikulum Sport Socialization. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul “Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education”. Beliau mengatakan bahwa bukunya merupakan model kurikulum dalam pembelajaran penjas.
Inspirasi yang melandasi munculnya model ini terkait dengan kenyataan bahwa olahraga merupakan salah satu materi penjas yang banyak digunakan oleh para guru penjas dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks penjas sering tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan. Para guru lebih senang mengajarkan teknik-teknik olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya. Atau, jika pun melakukan permainan, permainan tersebut lebih sering tidak sesuai dengan tingkat kemampuan anak sehingga kehilangan nilai-nilai keolahragaannya. Akibatnya, pelajaran permainan itupun tidak memberikan pengalaman yang lengkap pada anak dalam berolahraga.
Dalam pandangan Siedentop, pembelajaran demikian tidak sesuai dengan konsep praktek yang seirama dengan perkembangan (developmentally appropriate practices/DAP). Bahkan dalam kenyataannya, untuk sebagian besar siswa, cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai. Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru penjas.

4. Model Pendidikan Kooperatif

a. Tiga Struktur Tujuan dalam Penjas: Kompetitif, Individual, dan Kooperatif
Untuk memaksimalkan pembelajaran, guru pendidikan jasmani biasanya harus menetapkan struktur tujuan yang mana yang akan digunakan untuk menghasilkan pencapaian tujuan bagi sebanyak mungkin siswa. Struktur tujuan adalah cara siswa berinteraksi secara verbal maupun secara fisik dengan teman sendiri atau dengan guru ketika terlibat dalam pembelajaran. Keputusan yang baik tentang tujuan mengarah langsung pada pencapaian hasil pendidikan jasmani, walaupun sering diabaikan oleh kebanyakan guru penjas.
Pada dasarnya, terdapat tiga struktur tujuan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan, yaitu kompetitif, individual, dan kooperatif. Berikut akan dijelaskan masing-masing struktur tujuan tersebut.

1) Struktur Tujuan Kompetitif
Pertandingan regu dan perlombaan adalah dua contoh dari pembelajaran penjas yang menggunakan struktur tujuan kompetitif. Aktivitas pertandingan ini biasanya dikategorikan sebagai format “zero sum” di mana ada satu pemenang dan satu yang kalah, atau berformat “negative sum” dengan satu pemenang dan banyak yang kalah. Kategori lain bersifat lomba yang meningkat berkelanjutan (kontinjensi), di mana kelangsungan keikutsertaan ditentukan oleh keberhasilan yang tidak terputus. Contoh kategori ini dapat dilihat dalam lomba lompat tinggi, ketika pelompat yang tidak berhasil melalui ketinggian tertentu harus berhenti atau keluar dari lomba.
Dalam pembelajaran yang berstruktur kompetitif, siswa bergantung secara negatif kepada yang lain. Ketergantungan negatif terjadi ketika keberhasilan seorang siswa atau sekelompok siswa terkait erat dengan ketidakberhasilan siswa atau sekelompok siswa lain. Jenis ketergantungan demikian sangat nyata terlihat ketika siswa berlomba dalam lompat tinggi atau beberapa nomor atletik lainnya. Seorang siswa dapat melakukan yang terbaik ketika siswa yang lain tidak bisa menjadi yang terbaik.
Beberapa hasil positif biasanya dipercayai guru dalam penggunaan struktur tujuan tersebut dalam pendidikan jasmani. Asumsi utamanya menunjuk pada kepercayaan bahwa mahluk hidup termasuk manusia memang memiliki kecenderungan bawaan untuk berkompetisi. Dan karenanya, harus belajar berkompetisi agar bisa sukses dalam dunia yang semakin kompetitif ini. Beberapa ahli umumnya menghubungkan kompetisi dengan hasil-hasil seperti berikut:
• Perkembangan karakter,
• Peningkatan self esteem dan self confidence,
• Motivasi untuk sukses
• Pemantapan keunggulan sebagai tujuan,
• Mempertahankan minat keikutsertaan,
• Rasa keberhasilan pribadi setelah mengalahkan orang lain,

Cara berpikir alternatif tentang kompetisi dan pengaruhnya pada pembelajaran timbul ketika asumsi dan hasil yang berbeda mulai diperhatikan oleh kita. Cukup menarik menemukan fakta bahwa kebanyakan interaksi harian dalam hidup lebih bersifat kooperatif, tidak kompetitif. Buktinya kita lebih sering bergantung pada peranan orang di luar diri kita.
Di samping itu, kompetisi dengan sifat sangat bergantungnya pada standar (misalnya, peraturan, atau peralatan), justru menghasilkan situasi yang kurang diharapkan pada banyak siswa, sebab mereka tidaklah bersifat standar. Tetapi, mereka lebih bersifat heterogen dalam berbagai hal: kemampuan, minat, pengalaman, dan kematangan. Dengan kata lain, perbedaan individual siswa tidak sejalan dengan persyaratan yang dibutuhkan untuk kompetisi.
Akibatnya, kompetisi dapat menjadi sebuah pengalaman yang menghambat pembelajaran bagi banyak siswa. Apalagi, karena tingginya tingkat kegagalan yang ditemui dalam kompetisi, hanya mereka yang mempunyai kesempatan untuk berhasil sajalah yang termotivasi. Karenanya, kompetisi hanya tepat bagi sekelompok siswa terpilih dalam satu kelas yang menunjukkan tingkat keterampilan dan kebugaran jasmani yang sama serta memilih untuk membandingkan penampilannya dengan orang lain. Beberapa studi malah menunjukkan bahwa aktivitas kompetitif membatasi kesempatan belajar siswa.
Seperti juga dilansir oleh beberapa pengamatan, keikutsertaan dalam aktivitas kompetisi tradisional tidak memberikan kesempatan pada semua siswa untuk berlatih, menguasai, dan memperhalus keterampilan yang diperlukan dalam partisipasi mereka. Dengan kata lain, menggunakan aktivitas pendidikan jasmani format kompetitif dapat menjadi penghalang pada pembelajaran siswa.

2) Struktur Tujuan Individual
Program Penjas pun terkadang menyandingkan struktur tujuan individual di dalamnya. Pembelajaran untuk cabang atau jenis olahraga seperti senam, latihan kebugaran, senam aerobik, atau renang, adalah beberapa contoh pembelajaran berformat individual.
Pada saat pembelajaran individual, siswa biasanya tidak saling berhubungan dan tidak saling menggantungkan diri dengan siswa lain. Ketidakbergantungan tersebut didefinisikan sebagai tidak adanya hubungan kerja antara individu selama berusaha mencapai tujuan pembelajarannya. Selama pembelajaran individual, pencapaian tujuan dari seorang siswa tidak mempengaruhi pencapaian tujuan dari siswa yang lain. Demikian juga sebaliknya, tidak adanya usaha pencapaian tujuan dari seorang siswa tidak juga mempengaruhi ada atau tidak adanya usaha dari siswa lain.
Saling ketidakbergantungan demikian dapat diamati ketika seorang siswa sedang berusaha melakukan sebanyak mungkin gerakan push ups dalam waktu 30 detik. Pencapaian siswa tersebut tidak ada kaitannya dengan pencapaian atau tidak adanya pencapaian dari siswa lain. Siswa bekerja atau berlatih sendiri; interaksi di antara siswa tidak dipandang perlu atau didorong secara sengaja.
Pembelajaran individual dalam pendidikan jasmani memang mempunyai benang sejarah yang cukup panjang. Program penjas yang pada masa-masa awal perkembangannya banyak menekankan pada latihan pribadi (individual) seperti pada senam, atletik, atau keterampilan memainkan bola (meskipun pelaksanaannya dilakukan bersama-sama). Program pendidikan gerak yang didasarkan pada teori gerak dari Rudolf Laban merupakan kelanjutan dari pembelajaran individual. Analisis dari Locke tentang individualisasi dalam penjas juga merupakan penguat dari pembelajaran individual.
Keyakinan bahwa usaha dan produktivitas hasil dari pembelajaran individual merupakan hal yang baik sudah diterima secara umum. Hasil-hasil seperti di bawah ini umumnya diyakini sebagai kelebihan dari pembelajaran individual:
• Pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa,
• Memerlukan keterlibatan dari guru yang minimal,
• Pembelajaran individual meningkatkan pencapaian tujuan,
• Semua siswa mengalami keberhasilan,
• Pembelajaran individual menghilangkan persoalan sosial,
• Identitas dan karakter pribadi berkembang melalui kerja mandiri,
• Pembelajaran individual meningkatkan disiplin pribadi,
• Pembelajaran individual menghilangkan masalah kedisiplinan kelompok.

Namun demikian, banyak juga para ahli yang meragukan bahwa pembelajaran individual benar-benar efektif mengembangkan sifat-sifat di atas. Dari pengamatan, lebih banyak hal kontradiktif dari hasil di atas yang dapat ditemukan.
Pembelajaran individual, meskipun dipandang tepat untuk situasi tertentu, namun biasanya tidak berhasil mencapai hasil-hasil di atas bagi umumnya siswa. Pembelajaran individual tidak mendukung interaksi interpersonal yang positif di antara siswa karena siswa tidak diharuskan untuk berinteraksi. Diragukan juga bahwa pembelajaran individual dapat mengeliminir masalah sosial ketika siswa dipisahkan dari kegiatan temannya, karena saling ejek, pelabelan stereotipe, dan kecurigaan antar siswa tetap akan dapat berkembang.

3) Struktur Tujuan Kooperatif
Suatu contoh dari aktivitas penjas yang menggunakan struktur tujuan kooperatif adalah aktivitas mengumpulkan skor secara kolektif, di mana semua skor atau penampilan ditambahkan pada skor total dari kelompok. Ketika guru membangun struktur pembelajaran secara kooperatif, “saling-ketergantungan positif” berkembang di antara siswa. Pemahaman siswa bahwa mereka hanya dapat mencapai tujuan kalau siswa yang lain juga mencapai tujuan merupakan definisi yang tepat dari ketergantungan yang positif. Perasaan menjadi berada “pada sisi yang sama” adalah hasil dari struktur tujuan kooperatif.
Contoh lain dari ‘saling-ketergantungan positif’ yang lain dalam aktivitas penjas adalah permainan kelompok piramid kecil. Ketika guru menyajikan tugas untuk membangun piramid (standen) oleh lima orang siswa bersamaan, maka semua akan terlibat dalam keseimbangan dan saling mendukung, siswa secara positif saling tergantung karena setiap siswa harus menyumbang dengan keseimbangan dan dukungan, atau, kalau tidak, mereka tidak akan mencapai tujuan sama sekali. Guru yang mengajar dengan pembelajaran kooperatif akan banyak melihat perilaku-perilaku seperti ini: empati, memperhatikan, menolong, menyemangati, mengajar, membantu, mendengarkan, dsb. Dan guru memang harus mengharapkan tumbuhnya manfaat-manfaat demikian pada siswa melalui keikutsertaannya dalam penjas.

5. Model Pendidikan Pengembangan Disiplin
Untuk menekankan peranan penjas dalam pembentukan watak dan karakter yang baik, rupanya para guru penjas pun perlu merintis penerapan model kurikulum humanistik, yang menurut pengembangnya, mampu meningkatkan rasa tanggung jawab dan disiplin anak. Pelaksanaan model kurikulum ini secara sederhana dapat diwakili oleh model Hellison yang telah mengembangkan prosedur untuk mengajak siswanya berlatih bersama meningkatkan rasa tanggung jawabnya dalam praktek pembelajaran penjas.

Model Hellison
Model Hellison adalah model pengembangan disiplin yang didasarkan pada motivasi intrinsik anak. Untuk menerapkannya, pertama-tama, guru perlu memberikan pemahaman kepada para siswanya, bahwa rasa tanggung jawab itu berkembang sesuai tingkatannya. Adapun tingkatan tanggung jawab itu dapat ditunjukkan melalui perilaku-perilaku nyata yang dapat diidentifikasi secara mudah, terutama dalam proses pembelajaran penjas. Secara sederhana, tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Tahapan perkembangan
Tahap 0: Irresponsibility—menggambarkan siswa yang tidak termotivasi dan tidak disiplin. Pada level ini anak tidak mampu bertanggung jawab atas perilaku yang diperbuatnya dan biasanya anak suka mengganggu orang lain dengan mengejek, menekan orang lain, dan mengganggu orang lain secara fisik. Dalam pelajaran penjas, perilaku tersebut terlihat dari:
• Tidak mengikuti pelajaran, malahan mengajak yang lain untuk berbuat serupa.
• Selalu mengejek teman yang tidak bisa melakukan.
• Tidak pernah mau berbagi giliran dalam menggunakan alat dengan kawan lain.
• Tidak pernah mendengarkan penjelasan guru.

Bahkan perilaku tersebut akan terbawa atau sering muncul dalam setting kahidupan anak di tempat yang berbeda, misalnya:
di rumah: menyalahkan orang lain
di tempat bermain: memanggil nama jelek terhadap orang lain
di kelas: berbicara dengan teman saat guru sedang menjelaskan
dalam Penjas: berebut dengan orang lain pada saat mendapatkan peralatan.

Tahap 1: Self Control—menggambarkan siswa yang tidak berpartisipasi atau yang tidak menunjukkan penguasaan atau perbaikan, tetapi mampu mengontrol perilakunya. Pada level ini anak terlibat dalam aktivitas belajar tetapi sangat minim sekali. Anak didik akan melakukan apa-apa yang disuruh guru tanpa mengganggu yang lain. Anak didik nampak hanya melakukan aktivitas tanpa usaha yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh misalnya:
• Tidak mengikuti pelajaran, tetapi tetap ikut menghadiri dan memperhatikan pelajaran.
• Tidak mengejek teman,
• Tidak mempengaruhi teman untuk turut bolos.

Dalam setting lain, hal ini terlihat nyata dalam perilaku berikut:
di rumah: menghindari dari gangguan atau pukulan dari saudaranya walaupun hal itu tidak disenanginya.
di tempat bermain: berdiri dan melihat orang lain bermain
di kelas: menunggu sampai datang waktu yang tepat untuk berbicara dengan temannya.
dalam Penjas: berlatih tapi tidak terus-menerus.

Tahap 2: Involvement—menggambarkan siswa yang menunjukkan kontrol diri dan terlibat dalam pelajaran. Anak didik pada level ini secara aktif terlibat dalam belajar. Mereka bekerja keras, menghindari bentrokan dengan orang lain, dan secara sadar tertarik untuk belajar dan untuk meningkatkan kemampuannya. Sebagai contoh misalnya:
• Selalu mengikuti pelajaran.
• Tidak mencari tempat teduh manakala semua anak tetap terlibat dalam kegiatan belajar.
• Tidak sembunyi-sembunyi untuk menghindari tugas atau giliran.
Sama halnya, dalam setting lain perilaku tahap ini akan terlihat dalam hal:
di rumah: membantu mencuci dan membersihkan piring kotor
di tempat bermain: bermain dengan yang lain
di kelas: mendengarkan dan belajar sesuai dengan tugas yang diberikan
dalam Penjas: mencoba sesuatu yang baru tanpa mengeluh dan mengatakan tidak bisa

Tahap 3: Self Direction—menggambarkan siswa yang belajar mengambil tanggung jawabnya lebih besar atas pilihannya sendiri dan mengaitkan pilihannya itu dengan identitas dirinya, siswa mampu belajar tanpa pengarahan dan pengawasan langsung. Pada level ini anak didik didorong untuk mulai bertanggung jawab atas belajarnya. Ini mengandung arti bahwa siswa belajar tanpa harus diawasi langsung oleh gurunya dan siswa mampu membuat keputusan secara independen tentang apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Pada level ini siswa sering disuruh membuat permainan atau urutan gerakan bersama temannya dalam suatu kelompok kecil. Kegiatan seperti ini sangat sulit dilakukan oleh siswa pada level sebelumnya. Mereka biasanya menghabiskan waktu untuk berargumentasi daripada untuk melakukan gerakan bersama-sama. Beberapa contoh perilaku siswa pada level tiga ini misalnya:
• Selalu giat berlatih walaupun tidak diawasi guru,
• Selalu mencoba lagi walaupun tugas dianggap sulit,
• Meminta penjelasan dari guru manakala ada tugas yang tidak jelas.
• Ikut memberikan semangat pada kawan yang mengalami kesulitan.
Berkembang dalam setting yang berbeda, hal ini dapat terlihat sebagai berikut:
di rumah: membersihkan ruangan tanpa ada yang menyuruh
di tempat bermain: mengembalikan peralatan tanpa harus disuruh
di kelas: belajar sesuatu yang bukan merupakan bagian dari tugas gurunya
dalam Penjas: berusaha belajar keterampilan baru melalui berbagai sumber di luar pelajaran Pendidikan Jasmani dari sekolah.

Tahapan 4: Caring—menggambarkan siswa yang termotivasi untuk memperluas rasa tanggung jawabnya dengan bekerjasama, memberikan dukungan, memberikan perhatian, dan menolong siswa lain (Hellison, 1995). Anak didik pada level ini tidak hanya bekerja sama dengan temannya, tetapi mereka tertarik ingin mendorong dan membantu temannya belajar. Anak didik pada level ini akan sadar dengan sendirinya menjadi sukarelawan (volunteer) misalnya menjadi partner teman yang tidak terkenal di kelas itu, tanpa harus disuruh oleh gurunya untuk melakukan itu. Beberapa contoh misalnya:
• Selalu membantu guru dalam mempersiapkan alat.
• Selalu membantu teman yang mendapatkan kesulitan belajar.
• Mendukung penuh dan mendorong teman-teman untuk bersama-sama belajar dengan tekun.
Dalam bentuk lain, perilaku mereka akan terlihat lebih jelas seperti di bawah ini:
di rumah: membantu memelihara dan menjaga binatang peliharaan atau bayi.
di tempat bermain: menawarkan pada orang lain (bukan hanya pada temannya sendiri) untuk ikut sama-sama bermain.
di kelas: membantu orang lain dalam memecahkan masalah-masalah pelajaran.
dalam Penjas: antusias sekali untuk bekerja sama dengan siapa saja dalam Penjas.
2) Strategi pembelajaran
Untuk memaksimalkan hasil dari penerapan model Hellison tersebut, guru perlu mengikuti strategi yang tepat seperti di bawah ini:
Strategi Pengajaran Tanggung Jawab
• Teacher Talk—menjelaskan tahapan, menempatkan siswa, mengarahkan momen-momen penting dalam pembelajaran.
• Modeling—memberikan pemodelan pada sikap dan perilaku perkembangan.
• Reinforcement—setiap tindakan guru memperkuat sikap atau perilaku individu yang berhubungan dengan tahapan perkembangan.
• Reflection Time—waktu yang diberikan kepada siswa untuk memikirkan sikap dan perilaku yang berhubungan dengan tahapan perkembangan.
• Students Sharing—meminta siswa untuk memberikan pendapat tentang beberapa aspek dari pembelajaran.
• Specific Level-Related Strategies—kegiatan yang meningkatkan interaksi dengan tahapan yang sedang dijalani; misalnya penetapan target individu untuk membantu siswa yang berada di tahap 3; dan pengajaran berbalasan (reciprocal teaching) untuk membantu siswa yang berada di tahap 4 (Steinhardt, 1992; Hellison, 1984; Hellison, 1995).

Strategi penyadaran dan tindakan dimaksudkan untuk menyadarkan siswa tentang definisi tanggung jawab baik secara kognitif maupun dalam bentuk tindakan. Strategi refleksi dimaksudkan untuk membantu siswa mengevaluasi sendiri mengenai komitmen dan tandakan rasa tanggung jawabnya. Strategi keputusan pribadi dan pertemuan kelompok dimaksudkan untuk memberdayakan siswa secara langsung dalam membuat keputusan pribadi dan kelompoknya. Strategi konsultasi dan kualitas mengajar dimaksudkan untuk menyediakan beberapa struktur dan petunjuk bagi siswa untuk dapat berinteraksi mengenai kaulitas rasa tnggung jawab yang dikembangkannya.

3) Contoh Bentuk Latihan Levels of Affective Development
Pembinaan rasa tanggung jawab melalui pendekatan model Hellison dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran Penjas dan berlangsung secara terus menerus semenjak awal hingga akhir tahun ajaran. Penjelasan tentang tingkat perkembangan rasa tanggung jawab pribadi yang terdiri dari lima tingkatan tersebut di atas terlebih dahulu harus diberikan yang selanjutnya diikuti oleh latihan-latihan. Beberapa contoh latihan dalam Levels of Affective Development sebagai berikut.
a) Pada kasus mengambil peralatan olahraga. Guru menanyakan dan menyuruh siswa tentang bagaimana perilaku seseorang pada level 0, level 1, 2, 3, dan 4 pada waktu mengambil peralatan itu.
b) Pada saat belajar keterampilan baru (new skill), siswa disuruh bekerja pada level yang paling baik. Selanjutnya guru memberikan penghargaan, pujian, atau pinpointing terhadap siswa yang bekerja lebih baik.
c) Pada saat siswa berperilaku menyimpang, siswa tersebut mendapat “time out” dan diberi tugas untuk memikirkan mengapa perilaku menyimpang adalah level 0. Selanjutnya setelah siswa tahu perilaku siswa pada level 1 atau level yang lebih tinggi serta cukup meyakinkan guru bahwa ia mampu berperilaku pada level yang lebih tinggi, maka gurunya mengijinkan siswa itu untuk kembali mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya.
d) Pada saat siswa mengeluh tentang perbuatan siswa yang lainnya, guru menyuruh anak yang mengeluh itu untuk mengidentifikasi pada level mana perbuatan siswa yang dikeluhkan tersebut serta bagaimana cara-cara bergaul dengan siswa yang dikeluhkan tersebut.
e) Pada kasus kerja kelompok. Sebelum melakukannya guru dan siswa mendiskusikan bagaimana perilaku siswa pada level 4 dalam bekerja sama pada sebuah group. Topik diskusi adalah bagaimana bekerja sama dengan siswa yang mempunyai level 0 dan level 1.
4) Evaluasi Levels of Affective Development
Program evaluasi dalam model ini merupakan masalah tersendiri terutama bagi para guru yang belum terbiasa melakukan penilaian kualitatif. Selain penilaian yang berhubungan dengan keolahragaan dan pendidikan jasmaninya. Beberapa bentuk penilaian yang berhubungan dengan rasa tanggung jawab ini dan seringkali menjadi fokus utama adalah sebagai berikut,
a) catatan harian
b) observasi
c) refleksi siswa
d) tes pengetahuan rasa tanggung jawab
e) wawancara dengan orang lain

..INSPIRASI YANG MASIH PERLU DIUJI ..CALL:081524350105