Powered By Blogger

Rabu, 21 Oktober 2009

PARADIGMA BARU PEMBANGUNAN OLAHRAGA

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, dikenal dua sistem pembinaan olahraga yang umumnya dianut di negara-negara maju, yaitu pembinaan olahraga dengan menonjolkan pada olahraga elit (elie sport) dan pembinaan olahraga yang memfokuskan pada budaya gerak (sport and movement culture) (Mutohir, T.C, 2004). Olahraga elit dicirikan oleh adanya kompetisi dan maksimalisasi prestasi. Kedua ciri tersebut pada awalnya terasa sangat menonjol ketika terjadi politisasi olahraga, yaitu selama berlangsungnya perang dingin antara blok barat dan blok timur. Kemudian ini dilanjutkan di era komersialisasi olahraga, mediatisasi olahraga, dan saintifikasi olahraga sebagaimana yang terjadi sekarang ini. Kemenangan pada akhirnya merupakan sesuatu yang diagungkan – apapun bentuknya. Dalam kondisi yang demikian, dampak negatif darinya seolah menjadi tak terhindarkan seperti: penggunaan obat perangsang (doping), eksploitasi fisik, dan kekerasan yang pada gilirannya berujung pada pendangkalan nilai-nilai olahraga itu sendiri. Sebagai bentuk kritik dari semua itu, muncullah “de-sportification of sport” yang ide dasarnya berupa gerakan “sport for all”.
Di banyak negara, olahraga elit (professional sport, sportification of sport) cenderung mendominasi model pembinaan olahraga sebagaimana yang terjadi di Amerika, Jerman, dan sangat boleh jadi Indonesia. Sedangkan negara seperti Belanda dan Singapura, pembinaan olahraga lebih diarahkan pada budaya gerak masyarakat (de-sportification of sport, sport for all) yang berujung pada perilaku hidup sehat. Sistem mana yang lebih unggul? Tidak mudah untuk menjawab pertanyaan tersebut, mengingat banyak faktor yang ikut mempengaruhi seperti tujuan yang diinginkan dan potensi yang dimiliki oleh suatu negara. Namun demikian, makalah ini berargumentasi bahwa kedua sistem tersebut tidak harus dipertentangkan satu sama lain, melainkan bersifat komplementer.
Olahraga elit harus dianggap sebagai konsekuensi dari sebuah sistem piramida pembinaan yang didasarkan pada budaya gerak yang mapan. Sebab, tanpa budaaya gerak yang telah mengakar kuat di masyarakat, sulit rasanya akan dihasilkan prestasi olahraga elit secara berkelanjutan.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka dikenal tiga pilar bangunan olahraga, yaitu: pendidikan jasmani/olahraga pendidikan, olahraga masyarakat, dan olahraga prestasi (Mutohir & Lutan, 2001) ketiga pilar bangunan tesebut saling terkait satu sama lain.
Olahraga tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi, sementara sisi yang lain diabaikan. Pembangunan keolahragaan nasional harus ditelaah dan dipahami dari sudut pandang yang luas dan mendasar. Dari perspektif kesisteman, sangat dipahami bahwa hasil pembinaan dalam subsistem olahraga kompetitif yang menekankan pencapaian dan peningkatan prestasi, terkait langsung dengan sub-subsistem lainnya yakni subsistem pendidikan jasmani dan subsistem olahraga masyarakat. Keseluruhan subsistem tersebut harus dibina dan sekaligus dibentuk di atas landasan yang kokoh yakni partisipasi aktif dan teratur secara meluas di kalangan masyarakat Indonesia.
Partisipasi aktif dan teratur itu terbentuk berdasarkan kecintaan terhadap olahraga yang kemudian melekat sebagai bagian dari cara hidup dan budaya, hal ini diperoleh, tidak dengan sendirinya, melainkan melalui proses belajar atau proses pembudayaan. Dalam kaitan itu, penyelenggaraan pendidikan jasamni dan olahraga di sekolah menempati kedudukan yang amat strategis. Oleh karenanya, status pendidikan jasmani dan olahraga di sekolah harus diangkat dan disejajarkan dengan kegiatan akademik lainnya. Selain itu, kegiatan olahraga masyarakat (termasuk olahraga rekreasi) ikut serta menjadi bagian terpadu dalam kesisteman, dan dalam perkembangannya juga akan mempengaruhi subsistem lainnya, termasuk olahraga kompetitif.
Banyak orang beranggapan bahwa keberhasilan olahraga identik atau setidaknya dikonotasikan dengan perolehan medali dalam suatu event. Anggapan yang demikian tentu tidak salah, tetapi juga tidak seluruhnya benar. Sebab, dalam setiap pertandingan multievent, perolehan medali memang menjadi ukuran keberhasilan suatu daerah atau negara dalam mengembangkan prestasi olahraganya. Tetapi sebenarnya, medali hanyalah satu aspek, dan bukan satu-satunya. Selain itu, olahraga prestasi hanyalah salah satu pilar dari dua pilar bangunan olahraga lainnya, yaitu: olahraga masyarakat dan pendidikan jasmani. Ada filosofi dasar yang jauh lebih esensial dari hanya sekedar mendapatkan medali, yakni “spirit Olympism” yang ajaran dasarnya adalah penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan (celebration of humanity). Dengan keyakinan dasar seperti itu, maka harus ditanggalkan upaya primitive-destruktif: atas nama medali – atlet menggunakan obat perangsang; atas nama kemenangan – segala cara ditempuh; atas nama gengsi – perkelahian terjadi; dan atas nama performance – individu atlet jadi korban.
Menurut Coubertin, penggagas Olympiade modern, pentas olahraga dimanapun, kapanpun, dan apapun bentuknya, harus selaras dengan spirit Olympism. Sebab, olahraga merupakan manifestasi esensial dari spirit Olympism. Bukan semata-mata kompetisi dan kemenangan, melainkan juga partisipasi dan kerjasama. Bukan sekedar olahraga sebagai aktivitas, tetapi juga sebagai a formative and developmental in influence contributing to desirable characteristics of individual personality and social life. Lebih dari itu, spirit Olympism seharusnya tidak hanya menjadi filosofi dasar dalam olahraga, tetapi juga harus men-transenden dalam konteks kehidupan sehari-hari (Maksum, 2002). Tidak hanya bagi atlet, tetapi juga bagi semua orang. Tidak hanya dalam kurun waktu tertentu, tetapi mencakup seluruh rentang waktu kehidupan. Pendek kata, mengingat spirit dasar Olympism yang pada akhirnya bermuara pada nilai-nilai dan harkat kemanusiaan, maka Olympism merupakan filosofi kehidupan.
Dengan demikian tujuan olahraga pada akhirnya bermuara pada manusia itu sendiri. Artinya, olahraga merupakan wahana mengembangkan keharmonisan umat manusia secara paripurna. Oleh karena itu, konsep dasar pembangunan olahraga harus berbasis pada pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dengan kata lain, mengintegrsikan pembagunan olahraga dengan pembangunan masyarakat. Ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Lawson (2003) dalam Konfrensi Internasional tentang Olahraga dan Pembangunan Berkelanjutan di Yogyakarta bahwa olahraga memiliki kontribusi terhadap pembangunan setidaknya dalam empat hal:
1. Menghasilkan dan memperkuat jaringan social (social network).
2. Membentuk identitas kolektif (collective identities).
3. Memperbaiki kesehatan manusia dan lingkungan.
4. Meningkatkan kesehatan mental individu dan keluarga.
Sudah sejak lama kita mengingatkan bahwa orientasi pembangunan olahraga bangsa ini sepertinya bergerak kearah yang salah. Kita lebih memacu prestasi tanpa memperhatikan struktur bangunan yang mendukung prestasi itu sendiri. Prestasi seharusnya dianggap sebagai konskuensi dari adanya struktur bangunan olahraga yang kokoh – yang salah satu pilar utamanya adalah budaya berolahraga dari masyarakat. Kita semua menyadari bahwa selama ini pembangunan olahraga kita memang selalu dihadapkan pada persoalan yang tidak mudah, antara kepentingan sesaat untuk mendapatkan target medali dan kepentingan yang lebih dalam, untuk meningkatkan kebugaran dan kesehatan masyarakat yang berujung pada peningkatan kualitas hidup. Mana yang kita pilih? Sekali lagi, tidak mudah untuk menentukan pilihan. Akan tetapi, bagaimanapun, kita harus memunculkan kesadaran baru bahwa pembangunan manusia Indonesia yang bugar dan sehat harus berjakan seiring dengan pembentukan prestasi olahraga. Bahkan jika harus memilih, jauh lebih bermanfaat membangun manusia Indonesia yang sehat terlebih dahulu, baru kemudian dibentuk prestasi olahraganya.
Pembangunan olahraga hakikatnya adalah suatu proses yag membuat manusia memiliki banyak akses untuk melakukan aktivitas fisik. Ia harus memampukan setiap orang memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, baik mengenai fisik, intelektual, emosi, sosial, maupun spiritualnya secara paripurna.
B. PERMASALAHAN
Ada dua permasalahan yang ditampilkan penulis dalam makalah ini yaitu:
1. Apa yang perlu ditata dalam memajukan Olahraga nasional dalam kaitannya dengan program Indonesia Bangkit?
2. Apa yang perlu ditata oleh Departemen Pendidikan Nasional dalam kaitannya dengan memajukan Olahraga?
C. TUJUAN
Tujuan dari tulisan ini adalah sebagai referensi awal bagi pembangunan olahraga nasional dengan perspektif penulis sendiri, tentunya dalam kerangka membangun kembali keajaiban olahraga nasional yang semakin lama semakin terpuruk dari segi prestasi, dalam hal ini kaitannya dengan program Indonesia Bangkit dan semakin memudarnya budaya gerak dari masyarakat .
D. MANFAAT
Manfaat dari tulisan pada makalah ini sebagai wacana bagi (1) Manusia Indonesia yang sadar akan manfaat dan peranan OLAHRAGA bagi dirinya sendiri dan bagi Negara-Bangsa, (2) Olahragawan Indonesia sejati yang berprestasi tinggi, (3) Pelatih Olahraga dan Guru Pendidikan Jasmani yang melatih dan mengajar berlandaskan perkembangan ilmu yang mutakhir, (4) Pengurus/Pembina olahraga yang mampu menjalankan organisasi dan manajemen kepengurusan secara efektif dan efisien, dan (5) Pemimpin olahraga yang berkepribadian keteladanan dan kepeloporan yang mampu menjawab tantangan zaman.
E. PEMBAHASAN
Permasalahan yang dikemukakan dalam makalah ini, akan tercermin dalam pembahasan berikut, tentunya dengan persepsi penulis sendiri dan berbagai referensi pendukung yang berkaitan dengan topik makalah ini.

1. Akselerasi Pembangunan Olahraga dan Penguatan Kelembagaan
Sejak tahun 1950-an, pemerintah pada hampir semua negara di dunia menaruh perhatian terhadap olahraga dengan aneka motif kebijakan, mulai dari nasionalisme hingga pada kesiapan bela negara,. Kita di Indonesia pernah memanfaatkan olahraga sebagai bagian dari platform politik, “nation and character building” hingga peralihan kekuasaan dari bung Karno ke pemerintahan Soeharto olahraga mengalami perubahan, yang sebelumnya olahraga sebagai alat revolusi diganti menjadi bagian dari pembangunan nasional terutama untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sayang, walaupun olahraga dianggap penting dalam pembangunan kala itu tetap tidak memperoleh prioritas.
Sejak tahun 1966 hingga menjelang tahun 1998, olahraga dimanfaatkan sebagai alat “state building” sementara sistem sentralisasi selama lebih dari tiga dasawarsa belum sempat dikoreksi dengan kelemahan diantaranya memapankan “inequality” atau ketimpangan dalam berbagai bentuk baik kesempatan berolahraga pada tingkat individu maupun ketidakmerataan antar daerah. Perubahan sistem politik sejak reformasi digulirkan sesungguhnya juga berdampak pada sistem nasional pembinaan olahraga. Otonomi lokal diterapkan tidak sebatas pengertian manajemen, adanya pelimpahan kewenangan kepada daerah melalui pendekatan desentralisasi, tetapi jauh dibalik itu ialah suatu harapan yakni bangkitnya inisiatif untuk merencanakan dan memecahkan masalah lokal. Sistem pembangunan keolahragaan nasional perlu menyesuaikan diri dengan perubahan yang amat mendasar tersebut, sehingga olahraga perlu dibina lebih sistematik dan koheren dengan pembangunan sektor lainnya, terutama untuk menggerakan pembangunan pada tingkat komunitas yang lebih kecil untuk menuju terciptanya “civil society”. Pada intinya pembangunan keolahragaan ini bertumpu pada tumbuhnya inisiatif dan partisipasi yang bersifat otonom, sebagai lawan dari pendekatan “mobilisasi” dan sikap komformitas yang serba seragam demi mencapai tujuan pembinaan yang bersifat pragmatis.
Dalam kaitan itu, maka domain keolahragaan menjadi bertambah luas pelatarannya; ia tidak sebatas kegiatan olahraga kompetitif prestasi dan elit yang bersifat segelintir warga negara yang berkemampuan lebih. Yang menjadi sasaran binaan ialah segenap warga negara dengan hak yang merata sehingga bersifat inklusif, namun upaya untuk ”memasyarakatkan olahraga mengolahragakan masyarakat” itu hanya akan menjadi ilusi dan retorika belaka sepanjang faktor-faktor yang memperkukuh ketimpangan dalam hal kesempatan tidak dapat diatasi. Kondisi ini tidak saja hanya berpengaruh pada tatanan struktural yang sesungguhnya sudah harus dapat diatasi melalui konsep otonomi daerah. Tetapi persepsi yang kurang tepat terhadap interpretasi otonomi menyebabkan munculnya variasi yang luar biasa dalam tatanan kelembagaan keolahragaan.
Dilikuidasinya Kantor Menpora semasa pemerintahan Gus Dur sebagai akibat transformasi struktural karena anggapan bahwa urusan olahraga sepatutnya diserahkan kepada rakyat, membuat situasi pembinaan olahraga menjadi tidak jelas. Masyarakat, dalam kondisi seperti itu masih belum mampu mengurus olahraga dan masih memerlukan dukungan pemerintah. Persoalan lebih diperumit dengan adanya masalah yang lebih dalam yaitu kemiskinan dan kualitas hidup yang rendah, termasuk kondisi kesehatan dan kebugaran jasmani yang rendah pula. Semua pemasalahan tersebut saling berpengaruh dalam pola timbal balik menyebabkan sistem pembinaan dan pengembangan keolahragaan nasional semakin kompleks.
Tentu tidak ada yang mengelak bahwa sekolah sebagai domain pendidikan di samping keluarga akan menjadi landasan dari keseluruhan sistem, karena di samping diperoleh manfaat dari sisi pendidikan juga pembentukan peradaban. Landasan ini jualah ysng menjadi basis bagi bangunan sistem pembinaan dan pengembangan olahraga yang meliputi olahraga pendidikan, olahraga rekreasi, dan olahraga kompetisi. Olahraga kompetisi yang bermuara pada peningkatan martabat bangsa merupakan bagian dominan dari budaya berolahraga.
Di Indonesia, kita ingin memposisikan dan memberdayakan olahraga bukan semata-mata sebagai respon kultural atau reaksi dinamis terhadap perubahan lingkungan dalam makna luas, mencakup lingkungan fisik, sosial dan budaya. Olahraga harus dimanfaatkan sebagai bagian dari “mesin” pembangunan. Namun sayang, meskipun pesan yang menggema secara internasional bahwa “olahraga merupakan hak asasi manusia yang fundamental” tetapi masih terjadi hak itu kurang terperhatikan.
Di lingkungan PBB sendiri dalam rangka menciptakan dunia yang lebih damai dan kehidupan yang lebih baik, dimensi keolahragaan meluas, sehingga layanan jasapun bertambah luas cakupannya yang meliputi; olahraga dan pendidikan, olahraga dan kesehatan, olahraga dan pembangunan, olahraga dan komunikasi, olahraga dan kemitraan, dan olahraga untuk menanggulangi HIV termasuk narkoba. Dengan demikian olahraga dalam makna yang luas “melumat” dengan persoalan-persoalan sekitar dan karena itu olahraga, termasuk kelembagaannya berfungsi untuk ikut serta memecahkan masalah sosial dan bersama-sama sektor lainnya, utamanya pendidikan, yakni ikut memberikan pengembangan institusi, substansi kegiatan dan cara-cara pengorganisasiannya. Namun demikian, apa yang diinginkan oleh PBB agar olahraga dijadikan sebagai instrumen pembangunan dan perdamaian dalam spektrum strategi raya pembangunan nasional hingga dewasa ini belum mendapatkan posisi dan prioritas utama. Padahal sejatinya olahraga dapat berkontribusi secara berarti dalam upaya meningkatkan ketahanan bangsa baik dalam lingkup integrasi bangsa (politik), kesejahteraan sosial ekonomi, kebudayaan dan peradaban, serta kemampuan bela negara (keamanan).
Dalam fase peraliahan sekarang ini tatkala kota dan kabupaten ingin dijadikan sebagai unit terkecil untuk menjadi basis pembangunan maka kita sadar benar bahwa kelemahan ada pada kapasitas membangun dan sekaligus pula kapasitas manajemen. Tak dapat dipungkiri pula untuk mendukung percepatan pembaharuan itu kita tidak memilki sumber daya yang memadai yang kesemuanya itu terkait langsung dengan lemahnya aspek kelembagaan, kebijaksanaan dan perturan perundangan.
Karena itu menyongsong tahun mendatang, tiga hal yang memerlukan pembenahan, pertama pada tataran supra struktur, kita perlu memperkuat aspek kelembagaan mulai dari pusat, lebih-lebih pada tingkat daerah. Sesuatu hal yang dirasakan sekarang ini ialah Direktoral Jenderal Olahraga, “rumahnya “ begitu kecil untuk mewadahi kebijakan nasional dengan spektrum kegiatan yang lebih kompleks.
Demikian pula halnya dengan lembaga yang di tingkat propinsi, kota dan kabupaten. Dalam konteks negara kesatuan RI dengan luas wilayah seluas daratan Eropa, kita memerlukan jaringan lembaga yang kuat walaupun secara birokrasi tidak selugas sebelum reformasi. Tetapi kita memerlukan pada tingkat propinsi dan kota/kabupaten yang lebih kuat pula. Pertanyaan yang muncul, apakah KONI perlu dibubarkan seandainya ada departemen/kementrian olahraga? KONI sebagai lembaga non pemerintah yang diberi kewenangan oleh pemerintah dengan Kepres 72 Tahun 2001 mengemban tugas antara lain membantu pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan nasional di bidang pembinaan dan pengembangan olahraga prestasi; melaksanakan dan mengkoordinasikan keikutsertaan induk-induk cabang olahraga dalam multievent nasional, regional dan internasional. KONI dalam eksistensinya juga sebagai Nation Olympic Committee yang secara langsung menjadi anggota dari International Olympic Committee. Untuk menjadi anggota IOC organisasi tersebut sifatnya harus nonpemerintah. Dalam kondisi seperti itu, maka keberadaan KONI merupakan keniscayaan yang harus ada, di samping pemerintah. Justru itulah perlu adanya kebijakan yang dapat mengharmonisasikan antara kelembagaan olahraga pemerintah (departemen/kementrian) dengan KONI. Dan ini selaras dengan paradigma baru pembangunan olahrga di mana pembinaan dan pengembangan olahraga sebaiknya dilaksanakan secara bersama antara pemerintah dan masyarakat.
KONI dan seluruh aparaturnya baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah harus segera mengadakan konsolidasi terhadap perkembangan keolahragaan yang dibinanya selama ini sampai dengan tahun 2006. Kemudian mengambil langkah-langkah baru dalam rangka perbaikan, penyempurnaan dan peningkatan di segala bidang. Antara lain VISI baru lebih mengarah kepada menetapkan kebijaksanaan keolahragaan yang baru yang lebih terencana dan terarah yang bangkit dari keterbelakangan dan mampu menatap masa depan yang lebih cerah, yang diproses berlandaskan koordinasi dan keterpaduan oleh semua jajaran yang terlibat. Sedangkan bunyi MISI-nya adalah: menerapkan sistem pembinaan olahraga yang lebih mendasar dan meng-akar yang berlandaskan iptek olahraga yang tepat guna mengejar prestasi oahraga yang makin meningkat dan akhirnya mendunia.
Kita telah memiliki Peta Olahraga Indonesia, mengapa belum dikerjakan. Dan jangan lupa perlu penyesuaian kembali berdasarkan evaluasi terakhir di penghujung tahun 2006. Kebijaksanaan apa yang hendak diterapkan secara nasional, dalam rangka mengikutsertakan seluruh potensi yang kita miliki yang begitu tersebar di seluruh pelosok tanah air.
Di dalam hal ini perlu diterapkan prinsip prioritas, karena memang sesungguhnya apa yang kita miliki dewasa ini terbatas sekali. Jadi bekerjalah secara efisien dan efektif. Buktikan kepada negara-bangsa bahwa olahraga meskipun dengan segala keterbatasannya masih mampu membanggakan negara-bangsa Indonesia di tingkat internasional. Tidak terbatas itu saja, tetapi dapat tumbuh sebagai contoh teladan bagi pembangunan di bidang-bidang lainnya. Untuk itu organisasi dan manajemen olahraga harus kondusif yang dilakukan dengan efisien (hemat) dan efektif (tepat).
Induk organisasi cabang olahraga harus dapat menggerakkan roda organisasi sesuai keputusan kongres/munas dan anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Sedangkan pelaksanaan program dilakukan dengan konsisten dan disiplin.
Induk organisasi cabang olahraga harus dapat “menjual” cabang olahraganya bahkan dianjurkan tergerak melangkah keindustrialisasi dan berjuang untuk mandiri. Sebagai contoh sepak bola di Jepang yang mulai dari tahap belajar dari luar negeri dan bertumbuh menjadi industri sepak bola yang sangat dibanggakan
Untungnya pada tataran supra struktur ini perangkat lunak berupa UU tentang keolahragaan sudah disahkan. Dengan adanya UU keolahragaan ini pembinaan dan pengembangan olahraga yang cenderung semakin kompleks ada landasan dan payung hukum yang kokoh. Adanya UU tentang keolahragaan hingga kemudian perlua didukung oleh kelengkapan infrastruktur untuk mewadahi seluruh kegiatan yang justru berkembang pesat dan sangat bersifat massif.
Operasionalisasi keseluruhan kebijakan itu memerlukan penigkatan pada tataran substruktur yang dalam hal ini kita percaya pembinan di klub-klub termasuk di lingkungan pendidikan formal dan non formal serta masyarakat merupakan jantung dari seluruh perkara pembinaan. Pada tataran praksis inilah kita begitu lemah dan memerlukan peningkatan, diantaranya melalui peningkatan baik dari segi jumlah maupun mutu guru/pendidik pendidikan jasmani dan para pelatih olahraga, termasuk para penggerak dan jenis-jenis relawan lainnya untuk memperkuat sistem pembinaan keolahragan. Keseluiruhan proses itu membutuhkan “energi” berupa dana pembinaan yang penggunaannya tentu harus meningkat baik dari sisi transparansi maupun pertanggung jawab dari hasilnya. Asas efisiensi, kemana dana dimanfaatkan secara tepat merupakan sebuah prioritas.
Dari perbaikan dan penguatan pada tiga tataran tersebut barulah kita menuai hasil yang diharapkan. Bukan hanya prestasi yang diraih tetapi juga mutu kehidupan yang lebih sejahtera. Dengan demikian olahraga menjadi bermakna dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan akan memperoleh status yang layak dalam pembangunan bangsa.
2. Praktek Pendidikan Jasmani dan Olahraga
Seperti diketahui UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah beredar, tetapi peranan Penjas dan Olahraga belum optimal. Hal ini perlu dipertegas dan dilengkapi. Penjabaran kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler Penjasor mulai dari Taman Kanak-kanak sampai dengan Perguruan Tinggi harus kelihatan jelas tahapan dan kaitannya dalam rangka membangun suatu proses pembinaan yang memiliki sasaran-sasaran tertentu. Dalam hal ini perlu diarahkan kepada dua sasaran, yaitu: (1) manusia sehat jiwa-raga, dan (2) manusia berprestasi olahraga yang tinggi. Oleh karena itu sebagai tindak lanjut kegiatan ekstra kurikuler, perlu dilengkapi dengan jenjang pertandingan olahraga mulai dari intern sekolah itu sendiri, kemudian dilanjutkan dengan kejuaraan lokal, propinsi, nasional dan internasional.
Sesungguhnya pada tingkat kegiatan ekstra kurikuler harus sudah diterapkan dua proses, yaitu: (1) penemuan bakat, dan (2) pembinaan bakat. Sebagai kelanjutannya, setiap sekolah memiliki perkumpulan olahraga sekolah.
Dasar dan akar kegiatan di sekolah harus dimulai di Taman Kanak-kanak dan di Sekolah Dasar. Sebab bagi anak, gerak adalah bukti penting dari keberadaannya. Dengan gerak ia belajar tentang pengambilan keputusan mengikuti petunjuk, bekerja sama dengan temannya, meningkatkan kreativitasnya dan mengenali dirinya sendiri. Si anak menggunakan gerak sebagai alat untuk mencapai tujuan dan bukan merupakan tujuan itu sendiri. Dengan demikian melalui gerak ia secara tidak langsung mempelajari bagaimana dan mengapa bagi setiap kegiatan yang dilakukannya. Gerak adalah dasar dari bermain. Melalui bermain ia belajar sosialisasi, pertumbuhan gerak dan bahasa akan terjadi, demikian pula kemana untuk berdiri sendiri akan timbul dan tumbuh kepercayaan diri sendiri. Dan pada akhirnya melalui gerak bermain akan timbul minat dan perhatiannya terhadap sesuatu. Kesimpulannya, perkenalan terhadap olahraga harus dimulai di Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar.
Kemudian dilanjutkan dengan penjabaran kurikulum Penjas di Sekolah Dasar. Harus jelas apa yang menjadi tujuan umumnya yang berkaitan dengan tujuan pendidikan, apa yang menjadi tujuan khusus yang berkaitan dengan kegiatan Penjas itu sendiri dan bagaimana pula dengan materi yang disajikan. Di dalam hal ini prinsip berkaitan, bertahap dan peningkatan perlu dipakai sebagai landasan. Kesemuanya itu harus dapat dengan jelas tergambar di buku pedoman mengajar untuk guru Penjas. Dan alangkah baiknya kalau ini dapat dimonitor dan evaluasi setiap tahunnya dalam rangka menjamin adanya penyempurnaan dan pembaharuan.
Ditambah lagi dengan fungsi dan status nilai rapor untuk penjas perlu diangkat untuk mampu menumbuhkan motivasi.
Di samping kegiatan kurikuler, di SLTP dan SMU, juga terdapat kegiatan ekstra kurikuler yang merupakan kelanjutannya dan dilakukan di luar jam pelajaran sekolah. Di sini para pelajar mulai diperkenalkan dengan latihan olahraga untuk mencapai prestasi tinggi. Mereka membentuk perkumpulan olahraga sekolah untuk mengikuti rangkaian kegiatan bertanding dari cabang olahraga tertentu, mulai dari tingkat antar kelas, antar sekolah, daerah, wilayah, nasional dan akhirnya internasional. Dengan demikian proses pemassalan, pembibitan dan peningkatan prestasi mulai digulirkan.
Untuk menindak lanjuti masalah tersebut, perlu dipikirkan dan ditentukan kriteria cabang olahraga yang dinominasikan, peraturan-peraturan khusus dan waktu pelaksanaan yang hendak dipakai.
Sudah jelas cabang olahraga seperti atletik, renang, dan senam harus dinomor satukan. Kemudian kita beralih ketenis meja dan tenis yang aturan mainnya dapat disederhanakan dan disesuaikan, karena dapat dilakukan di ruang terbatas (tenis mini, peralatan sederhana). Kemudian bulutangkis yang sudah mendunia prestasinya, sepak bola dan bola basket yang telah memasyarakat, pencak silat, dan panahan yang merupakan warisan budaya kita yang perlu ditumbuhkembangkan.
Di dalam menerapkan kegiatan cabang-cabang olahraga tersebut jangan lupa memperhatikan periodisasinya seperti: pada usia berapa mulai dilatih cabang olahraga, dilanjutkan dengan waktu spesialisasinya, dan pada akhirnya pada usia berapa dapat dicapai prestasi tinggi.
Untuk mendukung dan menjalankan kegiatan ekstra kurikuler tersebut, dibutuhkan pelatih-pelatih olahraga yang terdididk untuk itu dan secara khusus memiliki kompetensi kepelatihan dari cabang olahraga tertentu.
Apa salahnya, bagi pelajar yang telah menunjukkan prestasinya di cabang olahraga tertentu, dan ternyata dapat dilanjutkan pembinaan untuk berprestasi internasional, diberikan beasiswa untuk masuk Perguruan Tinggi. Jadi dengan demikian sekaligus, muara perjalanan sistem pembinaan sekolah bermuara di Perguruan Tinggi yang memasuki babak terakhir terjadinya prestasi internasional yang dicita-citakan.
Rangkaian kegiatan ekstra kurikuler olahraga seperti diutarakan di atas, sebenarnya sudah berperan di dalam gagasan program pendidikan yang menyeluruh.
Masalah berikut yang perlu ditanggulangi adalah mengenai ketenagaan guru Penjas dan pelatih olahraga. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah masih kekurangan 40.000 tenaga guru Penjas. Pertanyaannya sekarang, lembaga yang bagaimana yang menciptakan dan kemahiran apa yang perlu diberikan untuk mampu bertugas dengan baik serta bagaimana menunjang kariernya dengan aturan-aturan yang menjangkau masa depan. Sekali-kali jauhi diri dari pengadaan ketenagaan yang tambal sulam dan asal jadi saja.
Jadi melihat penuturan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa olahraga tidak terbatas dikerjakan dan menjadi tanggung jawab satu lembaga saja, tetpai banyak lembaga terkait, baik pemerintah, legislatif, maupun masyarakat luas, dan orang per-orang. Masing-masing mempunyai fungsi dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Bekerja dengan sebaik-baiknya dalam rangka meraih hasil optimal. Untuk itu perlu adanya Koordinasi dan Keterpaduan.
Pelopor Koordinasi dan Keterpaduan adalah lembaga Departemen Pendidikan Nasional dan Komite Olahraga Nsional Indonesia yang memiliki landasan kerja yang berdasar dan berakar yang benar dan kuat bagi pembangunan sistem pembinaan olahraga (proses pemasssalan, proses pembibitan, dan proses peningkatan prestasi) dalam rangka mencapai sasaran: manusia sehat jiwa-raga dan manusia berprestasi olahraga yang tinggi. Dengan demikian kita akan mampu membangun tahapan-tahapan dari Keluarga Berolahraga, Masyarakat Berolahraga, dan akhirnya Bangsa Berolahraga.
Bayangkan!
1. Andaikata beberapa puluh juta orang melakukan kegiatan olahraga secara teratur dan memanfaatkan olahraga sebagai bagian dari kebutuhan hidup sehari-hari, maka tidak mustahil akan muncul beberapa ratus ribu bibit unggul yang memiliki bakat dan potensi. Tidak perlu lagi ada ide program naturalisasi seperti dicabang olahraga sepakbola untuk memajukan sepakbola.
2. Andaikata mereka dilatih secara khusus, maka tidak mustahil akan muncul beberap puluh ribu calon juara berbagai cabang olahraga.
3. Andaikata mereka dibina melalui proses pembinaan menuju prestasi tinggi, maka tidak mustahil akan muncul beberapa ribu calon juara dunia di berbagai cabang olahraga.
Untuk itu, kita perlu menyusun program-program untuk bangkit kembali dan mampu menatap masa depan. Diantaranya:
1. Optimalisasi Pemberdayaan Kelembagaan Keolahragaan dengan tujuan agar lembaga-lembaga terkait mampu berkembang makin meningkat kualitas dan karyanya.
2. Pemantapan Sistem Pembinaan Olahraga Nasional dengan tujuan prestasi olahraga makin meningkat dan akhirnya mendunia.
3. Pemantapan IPTEK Olahraga dengan tujuan segala sesuatu kita kerjakan dengan efektif dan efisien dalam rangka terciptanya peningkatana prestasi olahraga yang berkelanjutan.
Pada akhirnya perjuangan kita yang terus menerus dan tidak mengenal berhenti sampai tujuan akhir dapat dicapai akan membuahkan manusia-manusia Indonesia yang dapat membuktikan dirinya, mampu bangkit kembali dan mampu mengharumkan Negara-bangsa Indonesia melalui prestasi olahraga dan pribadi-pribadi pemeran olahraga yang dapat diunggulkan sepanjang masa.
F. KESIMPULAN
1. Optimalisasi Pemberdayaan Kelembagaan Keolahragaan, terutama dalam hal adaptasi dan antisipasi terhadap perubahan. Perubahan mulai dari tataran supra sturuktur, infra struktur, dan sub struktur baik di tingkat pusat, terlebih lagi di tingkat daerah.
2. Penataan Bangunan Sistem dan Peningkatan Partisipasi. Hasil pembinaan dalam subsistem olahraga kompetitif yang menekankan pencapaian dan peningkatan prestasi, terkait langsung dengan sub-subsistem lainnya yakni subsistem pendidikan jasmani dan subsistem olahraga masyarakat. Keseluruhan subsistem tersebut harus dibina dan sekaligus dibentuk di atas landasan yang kokoh yakni partisipasi aktif dan teratur secara meluas di kalangan masyarakat Indonesia.
3. Pemberdayaan Iptek dan Kelembagaan Pendidikan Olahraga. Kedudukan Iptek Olahraga perlu diberdayakan dengan menitikberatkan iptek sederhanan yang murah dan dapat dilaksanakan dalam rangka membuat keputusan-keputusan pembinaan yang cermat dan tepat. Semua lembaga tinggi di bidang keolahragaan juga perlu diberdayakan untuk meningkatkan jumlah tenaga Pembina (guru, pelatih, dll), di samping peningkatan kemampuan dalam riset di bidang olahraga.
G. REFERENSI
1. Mutohir, T.C., Olahraga dan Pembangunan Meraih Kembali Kejayaan, Direktorat Jenderal Olahraga – Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2004.
2. Mutohir, T.C & Lutan, R., Olahraga dan Transformasi Nilai. Dalam Rusli Lutan, Olahrga dan Etika Fair Play. Direktorat Jenderal Olahraga – Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2001.
3. Maksum, A., Pengkajian Sport Development Indeks (Cetakan 1). Surabaya: University Press, 2004.
4. Komite Olahraga Nasional Indonesia, Proyek Garuda Emas, Rencana Induk Pengembangan Olahraga Prestasi di Indonesia 1997-2007. KONI Jakarta, 1998.
5. Harsuki., Perkembangan Olahraga Terkini Kajian Para Pakar, Divisi Buku Sport PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003.
6. Lawson, H.A., Empowering people and advancing community development: The social work of sport, exercise, and physical education programs. Paper presented in International Conference on Sport and Sustainable Development. Yogyakarta, September 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar