Powered By Blogger

Kamis, 28 Oktober 2010

psikologi olahraga

a. pengertian
Psikologi secara umum dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang gejala kejiwaan manusia. Sedangkan kejiwaan atau jiwa adalah merupakan sesuatu yang sifatnya abstrak, yang berarti tidak dapat dilihat dan belum dapat diungkapkan secara jelas dan lengkap. Oleh karena itu, untuk mengungkapnya para ahli cenderung untuk mempelajari kejiwaan yang terjelma ke dalam jasmani manusia dalam bentuk perilaku fisik, yaitu segala aktivitas, perbuatan, atau penampilan diri manusia dalam hidupnya. Dengan demikian sebenarnya bahwa perilaku manusia merupakan pencerminan dari kejiwaannya, sehingga psikologi dapat juga dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tentang perilaku atau tingkahlaku manusia.

Psikologi olahraga adalah merupakah salah satu cabang ilmu yang relatif baru, yaitu merupakan salah satu hasil perkembangan dari psikologi. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sejak akhir abab ke-19 para ahli psikologi telah berusaha menerapkan hasil-hasil penelitian psikologi ke dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya tumbuh dan berkembang apa yang disebut sebagai psikologi terapan (applied psychology) di berbagai bidang, termasuk salah satunya adalah dalam bidang olahraga.

Pada awalnya psikologi hanya mengembangkan diri secara vertical, artinya bahwa psikologi berkembang hanya terbatas dalam lingkup disiplin ilmunya sendiri, yaitu tentang kejiwaan manusia sebagai individu (belum dikaitkan dengan hal lain disekitarnya). Sedangkan manusia sebenarnya bukan hanya individu, melainkan juga merupakan makhluk sosial, yang berarti segala perilaku tidak akan terlepas dari pengaruh lingkungan. Dengan demikian memaksa para ahli psikologi tidak hanya mengembangkan disiplin ilmunya secara vertical melainkan juga harus mengembangkan psikologi secara horisontal. Maksudnya adalah bahwa psikologi mulai mengembangkan diri dengan memasuki disiplin ilmu yang lain. Oleh karena olahraga juga merupakan salah satu bentuk perilaku manusia, maka dalam perkembangan secara horisontal psikologi juga memasuki bidang olahraga, dan muncullah Psikologi Olahraga. Dengan demikian sebenarnya bahwa psikologi olahraga adalah merupakan perpaduan antara psikologi dan olahraga.

b. psikologi olah raga

Manusia dapat juga dikatakan makhluk inono dualisme, artinya bahwa manusia adalah merupakan kesatuan tak terpisahkan antara dua aspek yang saling berbeda yaitu jiwa dan raga. Di satu sisi aspek fisik atau raga dapat dilihat, diraba, tampak nyata oleh indera manusia, disisi lain aspek kejiwaan (psikologis) adalah aspek yang bersifat abstrak, yang tidak dapat diraba, tidak tampak oleh mata manusia. Aspek jiwa dan raga yang merupakan kesatuan, sudah tentu antara keduanya yaitu antara jiwa dan raga akan saling mempengaruhi. Dengan demikian segala sesuatu yang dialami, diperbuat dan dicapai oleh manusia, akan sangat tergantung dari kedua aspek tersebut. Dengan kata lain, bahwa segala perilaku atau tingkah laku manusia tidak akan terlepas dari pengaruh aspek jiwa dan raga atau aspek fisik dan psikologisnya. Oleh karena itu, semua yang dirasakan atau dialami oleh kejiwaan akan terasa pula oleh raganya. Hal ini kiranya sudah sejak jaman dahulu disadari dan dimengerti, bahwa antara jiwa dan raga merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi.

Hal ini dapat dilihat dan dirasakan pada kejadian sehari-hari, baik yang dialami oleh orang lain maupun kita alami sendiri. Misalnya, apabila seseorang atau kita sendiri sedang mengalami suatu kekecewaan yang mendalam, situasi ini dapat dikatakan bahwa orang itu atau kita sedang mengalami gangguan kejiwaan, maka untuk menggerakkan raga rasanya menjadi berat. Bahkan tidak jarang karena suatu kekecewaan, akan mengakibatkan timbulnya suatu penyakit tertentu. Contoh lain misalnya seseorang atau kita sendiri dalam melakukan kegiatan olahraga, karena sebab tertentu kemudian mengalami cedera berat seperti patah kaki misalnya. Akibat yang langsung dirasakaan adalah rasa sakit, selain akibat setelah sembuh nanti. Dengan patah kaki berarti akan menjadi cacat (karena kakinya harus dipotong misalnya), hal ini akan mengakibatkan munculnya rasa rendah diri, malu kepada orang lain, hingga ia akan selalu murung dan mengurung diri, dan merasa sudah tidak mempunyai masa depan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dialami raga kita, juga akan berpengaruh terhadap jiwa kita. Kiranya mengenai hubungan dan pengaruh antara jiwa dan raga ini sudah tidak diragukan dan disangkal lagi hingga sebenarnya kita semua telah mengerti dan menyadari sepenuhnya hal itu.

Jika keyakinan sudah demikian seharusnya kita juga dapat memperlakukan, merawat, dan memperhatikan dua aspek tersebut yaitu jiwa dan raga kita secara seimbang. Artinya bahwa kita selain harus memperhatikan, memperlakukan, merawat dan membina raga kita, juga harus merawat, memperhatikan, memperlakukan dan membina kejiwaan kita secara seimbang atau sama dengan memperlakukan dan membina raga kita. Namun demikian kenyataannya sampai saat ini belum demikian, artinya bahwa perlakuan kita terhadap raga dan kejiwaan kita masih berat sebelah atau belum seimbang.

Sekalipun telah dimengerti bahwa antara jiwa dan raga saling mempengaruhi dan seharusnya mendapatkan perhatia yang sama, namun masih banyak orang yang karena lupa atau sebab lain atau tanpa disadari, memperlakukan aspek jiwa dan rasa ini dengan tidak adil atau tidak seimbang, yaitu lebih banyak menekankaan perhatiannya atau pembinaannya terhadap aspek raga saja. Hal ini banyak contoh yang dapat kita saksikan.

Seseorang yang merasa sakit atau menderita sakit tertentu, sebagai usaha penyembuhan biasanya dibawa ke dokter. Setelah ke dokter yang satu penyakitnya tidak kunjung sembuh, kemudian ke dokter lain, demikian seterusnya. Hal ini karena pada umumnya mereka hanya melihat akibat semata, tanpa melihat atau memang tidak tahu sebabnya. Sebagai akibat yang terlihat atau yang terasa memang sakit secara fisik, tetapi dapat juga disebabkan faktor psikologis. Namun sebagai akibatnya (seperti yang sudah disebutkan sebelumnya) bisa sama yaitu sakit secara fisik. Jika memang penyebabnya adalah faktor fisik (fisiologis), maka memang tepat dibawa ke dokter umum. Tetapi jika yang menjadi penyebabnya adalah faktor psikologis, walaupun setelah diobati oleh dokter umum menjadi sembuh, tetapi kemungkinan penyakit itu akan muncul kembali setelah pengaruh obat yang diberikan telah habis. Jika memang demikian, maka sebaiknya dibawa ke psikiater untuk dicari penyebab dari aspek yang lain yaitu aspek psikologis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar